Mohon tunggu...
Miftahudin
Miftahudin Mohon Tunggu... Swasta -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mahasiswa Universitas Terbuka

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Tragedi Para Musang

15 Desember 2018   20:38 Diperbarui: 17 Desember 2018   11:17 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Neanderthal (PA)

Matanya masih tajam pandangi ayam yang terkantuk di sudut kandang. Terbius kelezatan, lalu terkam leher ayam, terjadi kegaduhan.

Manakala sinar senter telanjangi dirinya, ia meloncat menuju rerimbunan pohon lengkuas dengan menyeret korban.

Musang!!! Tangkap!! Bunuh!!!" suara makhluk bengis mengejutkan musang betina tua."Musang...!!! Ini Si pencuri...!!! Bunuh..!!!" teriak makhluk kejam penuh kegeraman. Dengan emosi dan kemarahan yang meluap, mahluk itu menebas-nebas daun dan batang lengkuas. Sang musang ngacir secepat kilat, namun usahanya masih tertangkap mata musuhnya.

Besi tajam mengenai kakinya, darah pun mengucur deras, jadikan ibu pejuang itu terjatuh dan mangsa yang berada di mulutnya terlepas. Di ambil lagi. Ia tak menghiraukan rasa sakit yang menyerang. Ia kembali bangkit, kembali berlari sebelum musuhnya berhasil menangkapnya. Langkahnya kini tak secepat semula, benda yang berada di mulutnya telah memperlambat gerakannya.

Fisiknya kini telah merosot tajam. Tak ada yang ia pikirnya selain fokus agar cepat sampai di rumah dan memberi kebahagiaan kepada anak-anaknya. Lubang tempat anak-anaknya kian dekat, sang musang pun kian bersemangat. Walaupun Darahnya menetes di rerumputan. Pejuang betina itu memang sangat gagah perkasa, dihindarinya sang pemburu dengan menyusup perdu dan rerumputan dalam upaya menuju liang tempat tinggalnya.

Rasa sakit dan nyeri itu berbaur saling dengan rasa letih, lelah dan gemetar, bergabung menusuk-nusuk badan. Yang dengan hal itu telah memperburuk kebugaran dirinya.

Tertatih dan merangkak ia paksakan diri menuju lubang. Perjuangan memberi makan anak-anaknya sampailah pada saat pengakhiran. Raganya tak mampu lagi menanggung luka disekujur badan. Pejuang tua itu hanya mampu mengantarkan bangkai ayam sampai di mulut liang.

Anakku,... lihat dan rasakan, hidangan lezat yang ibu janjikan. Segeralah nak, cepat,...raih makanan ini dan seret ke dalam. Ini makanan yang cukup untuk bertahan selama seminggu. Anakku!.

Induk musang itu berkata dalam hati. Ditariknya nafas penghabisan, lalu melayanglah nyawanya dalam hening.

Aroma nikmat yang dikirim oleh semilir angin pagi, akhirnya masuk juga ke dalam liang tempat tinggalnya. Karena telah terpengaruh oleh bau anyir darah segar dari bangkai ayam yang kini kian dirasa lebih tegas keberadaannya, anak-anak musang seterusnya merangkak perlahan-lahan menuju ke sumber aroma.

Bersamaan dengan anak-anak musang mendekati bangkai ayam, dari kejauhan, terlihat sepasang mata ular sanca tajam membidik mulut lubang di bawah pohon bungur tua itu. Lidahnya yang merah menjulur-julur penuh gairah.

Selanjutnya yang terjadi adalah siapa yang akan menjadi korban pertama si ular Sanca. Bangkai ayam ataukah anak-anak musang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun