Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Writer & Citizen Journalist. Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ketika Senja Tenggelam

21 Februari 2020   15:03 Diperbarui: 21 Februari 2020   15:04 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua keranjang pakaian bersih di ruangan kamar itu sudah menunggu kehadiran Murni, perempuan renta yang rambutnya memutih karena jera memandang dunia yang tak lagi bisa membedakan mana yang hitam mana putih. Kulit tubuhnya keriput terpanggang dunia yang tak lagi menarik baginya. Badannya lemah tanpa tenaga, bukan karena kurang makan tapi karena aktivitasnya kini yang tak bisa membuatnya menyisakan senyum untuk anak cucunya di rumah.

Setiap hari ia mendatangi rumah majikannya mulai pukul 08.00 WIB, dan berkemas pulang ketika senja tenggelam. Di rumah itu ia layaknya pembantu rumah tangga (PRT). Meski julukan itu tak pantas untuknya.

Sejak muda ia bekerja di keluarga Margono sebagai PRT. Di rumah itu pula ia menemukan jodohnya, Mansur yang bekerja sebagai Satpam. Sesudah menikah mereka diizinkan tinggal di rumah tersebut. Hingga kemudian mereka dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Salim.

Di rumah inilah permulaannya menjadi budak terjadi. Sejak Salim kecil hingga lulus SMA, keluarga Margono yang membiayainya. Murni merasa berutang budi kepada keluarga itu. Ketika Mansur dan Murni mulai renta mereka memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan memilih tinggal di rumah kontrakan. Mereka membuka warung sederhana.

Murni ingin hidup secara mandiri dengan membuka usaha, tapi Margono berkeras menyuruhnya tetap bekerja paruh waktu di rumahnya; membersihkan rumah, mengepel, mencuci, dan yang terpenting sebagai tukang gosok atau menyetrika baju-baju milik keluarga besar Margono.

Tak ingin Murni menolak, mengingat keluarga itu yang memberi pekerjaan selama ini. Mereka lah yang menyekolahkan anaknya. Tapi lama-kelamaan pekerjaan sebagai PRT terasa menyiksanya.

Sebagai manusia tentu Murni ingin bersantai layaknya keluarga lainnya di usia tua. Menikmati sore di halaman rumah sambil menemani Fahmi, cucunya bermain bola. Begitu indah kehidupan yang Murni idamkan.

Murni memandang tumpukan pakaian kering di keranjang baju. Tangannya meraih helai demi helai dan mulai menggosoknya hingga licin. Menyetrika baju bukan pekerjaan sembarangan. Pekerjaan ini membutuhkan keutuhan konsentrasi, karena kalau tidak baju bisa gosong terbakar atau tangan terkena panasnya setrika. 

Dua jam berlalu hingga pekerjaan selesai. Magrib mulai menjelang, ia pun bergegas pulang dengan mengendarai sepeda tua

"Sampai kapan Ibu mengabaikan kebutuhan sendiri dan mengorbankan keluarga? Aku kasihan sama Ibu," Salim membuka rumah ketika sang ibu mengetuk pintu.

Tak terhitung ucapan Salim mengingatkan tubuh ibunya tak sekuat dulu. Ia butuh istirahat sembari menikmati masa tua. Untuk urusan keuangan seharusnya ia tak membutuhkan uang gaji menjadi tukang gosok. Toh usaha warung sederhana sudah lebih dari cukup. Apalagi Salim yang juga bekerja di perusahaan air mineral juga turut membantu kebutuhan sehari-hari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun