"Ibu juga pingin istirahat, Lim. Tapi ibu utang budi kepada pak Gono."
Kadang perasaan berutang budi kepada seseorang seolah memaksa orang itu menuruti segala keinginan sang pemberi utang.
"Karena aku dulu yang menyekolahkan mereka?Apa dulu Ibu memintanya? Mereka sendiri yang menawarkan diri menyekolahkan aku. Kalau toh mereka mengungkit-ungkit itu bukan urusan kita, Bu. Apa dengan cara seperti itu mereka berhak menjadikan Ibu sebagai budak?"
Batin Murni menjerit mendengar perkataan anaknya. Ia teringat sewaktu mengutarakan keinginan berhenti dari pekerjaannya. Margono uring-uringan, marah tak jelas.
"Kamu berani menentang kami setelah kamu merasa kecukupan? Tak ingat siapa yang memberi pekerjaan kamu dan suamimu? Tak ingat siapa yang menyekolahkan anakmu?" Perkataan Margono seperti itu menyakitkan, menyesakkan dada Murni. Tak ubah duri yang menusuk dalam hati.
Meski hidup di rumah sederhana, Murni merasa rumahnya itu sebagai surga. Murni menuju kamarnya ketika malam mulai larut. Ia dan suaminya menempati kamar di bagian belakang. Sedang Salim dan sang istri Wulandari tidur di kamar yang menyatu dengan warung.
Mansur tampak iba memandang istrinya. Tanpa disuruh, ia memijit punggung istrinya seakan mengurangi kelelahan yang menumpuk.
"Nasib wong cilik ya seperti ini, Bu. Kita tak punya banyak pilihan dan tak punya kekuatan untuk bilang tidak," ucap Mansur.
"Apa seumur hidup aku tak punya waktu buat ngurusi warung dan menjadi nenek seutuhnya buat Fahmi?" curhat Murni
"Ibu nggak usah memikirkannya. Toh Wulan sudah mengurus Fahmi," balas Mansur
****