Mohon tunggu...
Miftachul Jannah
Miftachul Jannah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hi all!! i'm here to improve my skill so let's check my articles

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kenali Tren Gig Economy akibat Pandemi Covid-19, Bagaimana Dampak dan Solusinya?

16 Juni 2022   22:52 Diperbarui: 16 Juni 2022   22:59 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Membahas dampak situasi pandemi Covid-19, selalu dikaitkan dengan sulitnya perekonomian yang dialami oleh masyarakat di Indonesia. Sebanyak 6,06 juta kasus Covid-19 telah terjadi di Indonesia, di antaranya sekitar 157 ribu orang meninggal dunia. Kasus tersebut memberikan efek yang besar terhadap perekonomian ditambah lagi kebijakan yang harus dilaksanakan yakni pengurangan aktivitas di luar rumah yang berarti kegiatan ekonomi akan lebih terbatas.

Dampak tersebut sangat terasa bagi para pelaku bisnis, baik bisnis besar maupun kecil. Para pelaku bisnis tersebut agaknya terseok-seok untuk mempertahankan bisnis yang dijalankannya. Perusahaan yang tidak dapat bertahan pada masa pandemi ini terdorong untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada pekerjanya.

Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), M. Ikhsan Ingratubun membeberkan bahwa "Puluhan juta usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM telah bangkrut, selama setahun terakhir pandemi yang terjadi di Indonesia".

Dari sekitar 64 juta jumlah UMKM yang ada di Indonesia, 30 juta UMKM di antaranya gulung tikar. Data lain menyebutkan bahwa sebanyak 87,5 persen UMKM terdampak akibat pandemi dan 93,3 persen pelaku bisnis merasakan dampak penurunan profit. Meskipun, di sisi lain terdapat 27,6 persen unit usaha yang justru mengalami peningkatan omzet, tetapi tidak sebanding dengan UMKM yang terdampak buruk.

Dalam kondisi ini, pelaku bisnis cenderung menerapkan gig economy atau memilih untuk mempekerjakan para pekerja lepas dibandingkan dengan pekerja penuh waktu. Istilah ini tidak asing lagi seiring dengan bermunculannya perusahaan berbasis digital. Gig economy merupakan suatu sistem ketenagakerjaan yang bebas dimana perusahaan dapat mengontrak atau mempekerjakan pekerja dengan bebas dalam jangka waktu yang relatif singkat. Ini memberikan contoh pekerjaan di masa depan sehingga mengharuskan para pekerja mempersiapkan hal tersebut dari sekarang.

Tren ini semakin terdorong oleh semakin pesatnya industri 4.0 dengan kebebasan akses jarak jauhnya menjadikan pekerjaan sektor informal dilirik oleh banyak orang. Sektor ini cenderung diisi oleh para pekerja lepas dan kontrak. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada Februari 2021, menyatakan data bahwa 59,62 persen atau 78,14 juta pekerja Indonesia bekerja di sektor informal. Pekerja lepas sendiri memiliki proporsi sekitar 4,55 persen dari 129,36 juta pekerja.

Sejalan dengan itu, adanya fleksibilitas waktu kerja membuat para generasi miglenial tertarik bekerja sebagai pekerja lepas atau gig workers. Ditambah lagi dengan fakta bahwa jumlah pemuda atau generasi muda di Indonesia memiliki proporsi yang cukup banyak yakni sekitar seperempat dari total keseluruhan penduduk di Indonesia atau sekitar 23,90 persen.

Kendati demikian, gig economy juga memberikan dampak negatif terhadap para pekerja lepas. Penerapan sistem ini mengakibatkan adanya kebebasan kebijakan yang diambil oleh perusahaan dalam pasar bebas yang kurang bertanggung jawab. Perekonomian yang diserahkan kepada pasar memiliki kemungkinan yang cukup besar akan terjadinya eksploitasi.

Pokok yang menjadi potensi terjadinya eksploitasi terhadap pekerja lepas adalah pemberian upah pekerja yang tidak sepadan. Eksploitasi juga tidak sedikit dilakukan melalui penerapan waktu kerja dan penggunaan alat produksi yang tidak sesuai. Jaminan sosial dan perlindungan juga tidak didapatkan oleh pekerja lepas. Tentu saja tindakan eksploitasi ini bertentangan dengan hak yang seharusnya didapatkan oleh pekerja yang telah diatur dalam Undang-Undang atau UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

Dampak negatif lainnya adalah meningkatkan pengangguran. Jumlah pengangguran di Indonesia sendiri ada sekitar 8,75 juta orang. Hal tersebut disebabkan oleh adanya kebebasan mempekerjakan pekerja dengan kontrak yang cukup singkat. Faktor lain yang mempengaruhi peningkatan jumlah pengangguran dalam gig economy ini adalah tidak dibutuhkannya keahlian khusus pekerja lepas.

Dengan ungkapan yang ada di atas, diharapkan adanya sebuah solusi yang dapat mengatasi permasalahan eksploitasi dan pengangguran yang disebabkan oleh gig economy. Sebuah wadah atau platform dibutuhkan sebagai tempat pengaduan akan eksploitasi, serta wadah bagi para pekerja lepas mencari relasi, lowongan kerja, ilmu, dan pelatihan yang mendukung keahlian pekerja. Platform tersebut dapat menjadi kesatuan untuk mengatasi permasalahan yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun