Fajar masih menyingsing. Langit masih berwarna biru tua, dan dari kejauhan, suara tarhim sebelum subuh terdengar lirih mengalun sendu.
Dalam waktu bersamaan peluit panjang dari wasit yang memimpin laga Timnas Indonesia vs Irak itu berbunyi... dan seketika waktu berhenti.
Para pemain bertumbangan, menunduk. Thom Haye menutup wajahnya dengan jersey merahnya, menahan sesal yang tak terucap. Verdonk menyeka air matanya perlahan, Kevin Diks tertunduk lama, sementara yang lain termangu, beku, tak percaya. Semua berakhir di sini.
Itulah pemandangan yang terlihat jelas dari layer kaca dalam kualifikasi Piala Dunia 2026. Sungguh menyesakkan dada, sesaat setelah laga Timnas Indonesia melawan Irak usai skor 1-0 untuk negeri Teluk.
Minggu di waktu subuh itu bukan fajar biasa. Ia adalah fajar paling menyakitkan dalam ingatan saya.
Tiga tahun berdarah-darah, melewati fase demi fase, dari Round 1 hingga Round 4... dan kini semuanya berhenti di titik yang tak diinginkan. Kalah di laga paling bersejarah.
Bagi sebagian besar rakyat negeri ini, Timnas sepakbola Indonesia bukan sekadar kumpulan atlet olahraga. Bukan sekadar sepakbola 90 menit, bukan sekadar 11 orang yang berlari di atas lapangan hijau. Ia adalah nyawa dari kebanggaan yang sering kali kita tak punya di negeri ini.
Seperti kata Tan Malaka, sepakbola adalah alat perjuangan.
Dan di negeri ini, sepakbola telah menjelma jadi obat luka, penenang dari hiruk pikuk politik yang kian absurd, penawar dari janji-janji kosong para pejabat yang makin kehilangan arah dan nir-empati.
Sepakbola, bagi banyak dari kita, adalah satu-satunya tempat di mana kita masih bisa tertawa, masih bisa bermimpi, masih bisa merasa bangga menjadi orang Indonesia.