Setiap tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Momen ini seharusnya menjadi ajang refleksi terhadap kondisi pendidikan di Indonesia, bukan sekadar perayaan seremonial. Pendidikan adalah hak dasar warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, sekaligus pondasi utama dalam membentuk masyarakat yang cerdas dan berdaya saing. Namun, realita di lapangan masih menunjukkan banyak tantangan, mulai dari akses pendidikan yang belum merata hingga kualitas pembelajaran yang belum optimal.
Di luar pendidikan formal, proses belajar sebenarnya bisa terjadi dalam banyak bentuk. Salah satu cara sederhana namun berdampak besar adalah dengan membaca buku. Kebiasaan membaca secara rutin, meskipun hanya dalam waktu singkat setiap hari, dapat memperkaya wawasan dan melatih pola pikir kritis. Sayangnya, budaya membaca buku di ruang-ruang publik tampaknya semakin jarang kita jumpai.
Dulu, pemandangan orang membaca buku di kereta Commuter Line adalah hal yang lumrah. Banyak penumpang memanfaatkan waktu tempuh yang cukup panjang untuk membaca novel, buku motivasi, hingga materi akademik. Aktivitas tersebut menjadi cara produktif untuk mengisi waktu sekaligus sarana belajar di tengah rutinitas harian. Kini, kebiasaan itu mulai tergeser.
Sebagian besar penumpang kini lebih sering terlihat menatap layar gawai. Mereka mungkin sedang membaca berita, menonton video pendek, atau sekadar berselancar di media sosial. Tak bisa dimungkiri, kemajuan teknologi memberikan kemudahan dan hiburan instan yang sulit diabaikan. Namun, perlu diakui juga bahwa konsumsi informasi secara cepat sering kali membuat kita kehilangan kedalaman dalam memahami suatu topik.
Berbeda dengan membaca singkat di media sosial, membaca buku mendorong kita untuk lebih fokus dan terlibat secara intelektual. Buku mengajak kita menyelami ide-ide secara lebih mendalam dan reflektif. Ketika seseorang memilih untuk membaca buku di tengah hiruk-pikuk kereta, itu bukan hanya bentuk usaha memperkaya diri, tapi juga bentuk keteguhan dalam menjaga kualitas belajar di tengah distraksi digital.
Kereta sebenarnya menawarkan suasana yang cukup ideal untuk membaca, seperti perjalanan yang rutin, waktu yang cukup panjang, dan suasana yang relatif tenang (itupun kalau keadaannya sedang tidak ramai berdesakan). Jika seseorang bisa membaca buku selama satu jam di perjalanan pergi dan pulang kerja, dalam seminggu ia bisa menyelesaikan satu buku. Kebiasaan ini, jika dibangun secara konsisten, tentu memberi dampak positif bagi individu maupun lingkungan sekitar.
Sayangnya, kini melihat orang membaca buku di kereta menjadi sesuatu yang langka. Padahal, kehadiran satu orang yang membaca buku bisa menjadi inspirasi bagi penumpang lain. Kita tak pernah tahu seberapa besar dampak dari satu kebiasaan baik yang dilakukan secara konsisten di tempat umum. Seorang pembaca buku di ruang publik bisa menumbuhkan rasa ingin tahu bagi orang lain, terutama generasi muda yang tengah mencari panutan atau contoh.
Lebih jauh lagi, membiasakan diri membaca buku juga bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap budaya instan. Di tengah derasnya arus informasi yang cepat dan singkat, membaca buku mengajak kita untuk memperlambat langkah, merenung, dan menyerap informasi dengan utuh. Ini adalah keterampilan yang penting untuk dikembangkan, terutama di era ketika orang lebih mudah menyebarkan opini daripada memahami substansi.
Pemerintah dan lembaga pendidikan memang memiliki peran penting dalam meningkatkan literasi masyarakat. Namun, tanggung jawab tersebut tidak semata-mata berada di pundak institusi. Kita sebagai individu juga punya andil. Membaca buku, meski tampak sederhana, adalah bentuk partisipasi aktif dalam membangun masyarakat yang gemar belajar. Apalagi bila dilakukan di ruang publik, kebiasaan ini secara tidak langsung menghidupkan atmosfer belajar di lingkungan sekitar.
Dalam momen Hardiknas ini, ada baiknya kita tidak hanya mengkritisi sistem pendidikan secara makro, tetapi juga merenungkan kontribusi kecil apa yang bisa kita lakukan sebagai warga negara. Menghidupkan kembali budaya membaca buku di ruang publik, seperti di kereta, adalah langkah kecil yang memiliki makna besar. Selain memperkaya diri sendiri, kita turut menghadirkan budaya literasi di tengah masyarakat yang semakin terdistraksi.