Bagi setiap perantau, “ingat kampung halaman” adalah frase klise yang amat sangat melekat, dan diam abadi dalam setiap benak, dan kalbu. Kampung halaman akan terus menjadi “daya tarik” yang menuntun setiap perantau untuk tidak sekali-kali melupakan tanah dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Maka tak mengherankan, di setiap hari raya tahunan apa saja, maka jutaan atau puluhan juta warga akan pulang ke kampung halamannya. Dimana saja, dan dari mana saja.
Pagi tadi, saya sempat membaca puisi pendek hasil karya seorang sastrawan dari kampung halaman saya, Sonder Minahasa. Penulis puisi itu adalah Fredy Sreudeman Wowor. Ia adalah pengajar di Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi Manado, dan juga aktif berperan dalam gerakan kebudayaan Minahasa.
Puisi tiga baitnya itu dapat dibaca lengkap seperti di bawah ini:
Fredy Sr. Wowor
Qta babale ka gunung, Coy
Lantaran Manado solebe fugado
Punung deng abu sisa reklamasi
For beking mallmall sepanjang boulevard
Qta babale ka gunung, Coy
Lantaran kampus solebe sumpek
Fol orangorang bataiminya
Nintau SPP nae trus tiap taong
Qta babale ka gunung, Coy
Lantaran di sini solebe tabiar
Sudarasudara pigi blayar satusatu
Nda sadar tana mulai takere sadikisadiki
Bait pertama puisinya secara garis besar menggambarkan, bahwa betapa ia merasa Kota Manado sudah lebih panas, dengan demikian ia akhirnya memilih pulang kampung ke gunung (Sonder-red). Lantaran apa? Lantaran sumpek dan panas (fugado) kota Manado diakibatkan pembangunan mall-mall dan berbagai bagunan di sepanjang pinggir pantai Jalan Boulevard. Abu reklamasi pantai di siang hari begitu menyesakkan. Pembangunan di kawasan Boulevard memang dilematis. Dari segi ekonomi ini memang menguntungkan, namun ada nilai-nilai lain yang mulai tergerus. Kealamian pesisir pantai dan hunian di sepanjang Boulevard terkikis habis.
Ada istilah di sana, “Gunung dorang potong, kong laut dorang tambun..” (Gunung mereka babat, laut mereka timbun). Itu istilah untuk reklamasi pantai.
Maka tak mengherankan, ia menuangkan buah pikirannya tentang Manado yang semakin fugado, secara tidak langsung memaksanya untuk kembali pulang ke desa saja.
Kota Manado memang terus terus berkembang sebagai kota bisnis yang begitu subur. Banyak investor datang untuk mengembangkan usahanya di Manado. Umpamanya saja salah satu proyek prestisius yang dibangun di Manado yaitu The Lagoon Tamansari Apartment & Condotel. Gedung yang berlokasi di kawasan Manado Mall memiliki setidaknya 28 lantai. Nantinya, The Lagoon Tamansari ini bukan hanya bakal tercatat sebagai gedung tertinggi di Manado, namun juga tertinggi di kawasan timur Indonesia. Selain itu, masih di seputaran lokasi pinggir pantai itu, ada Manado Mall Bahu, Star Square. Masih ada banyak pembangunan lainnya juga seperti hotel dan restoran. Pembangunan yang sangat menguntungkan, namun serempak ‘beking fugado’. Maka ingatlah kampung halamanmu.
Bait kedua puisinya menggambarkan secara kocak tentang kenapa ia pulang kampung (ke Sonder). Karena, katanya kampus-kampus di Manado sudah penuh dengan ‘orang-orang ba taiminya’. Ini ungkapan kocak Manado untuk mengatakan bahwa di kampus (yang seharusnya tempat terhormat) itu sudah dipenuhi orang-orang yang suka bicara bohong, atau banyak omong (namun omongannya tidak ada yang benar). Tai Minya = Omongan dusta ngalor ngidul. Apakah kampus kita memang sudah seperti itu? Hehehe entahlah. Ini hanya interpretasi dari puisinya saja.
Sambungan dari bait keduanya itu, adalah bahwa ternyata biaya kuliah itu naik terus setiap tahun. Istilah para mahasiswa, kalau sudah naik kapan turunnya? Ya nggak bakalan lah! Masih belum hilang dari ingatan kita berita di tahun 2013 tentang puluhan mahasiswa Universitas Brawijaya Malang di Jawa Timur yang menggelar aksi siap menjual ginjal untuk membayar SPP.
Memang tak terpungkiri, negara berkembang seperti Indonesia ini tentu menyimpan banyak persoalan dan banyak problematika dalam segala bidang. Entah itu masalah pekerjaan, mengenai kesehatan dan juga soal pendidikan. Banyak Universitas di Indonesia yang berlomba-lomba untuk untuk meraih akreditasi bagus, menciptakan kualitas yang baik dan menjadi Universitas yang masuk dalam jajaran Universitas terkemuka, tidak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Mudah-mudahan saja, ungkapan ‘kampus solebe sumpek fol orang-orang bataiminya’ tidak menjadi realita sesungguhnya. Maka ingatlah kampung halamanmu.
Bait ketiga menggambarkan ungkapan hati sang penulis, bahwa ia akhirnya memilih pulang kampung oleh karena, setelah dia cermati ternyata kote tanpa disadari, itu kampung halaman so lebe tabiar (sudah terbiarkan / tak terurus) karena banyak yang sudah meninggalkan kampung halaman demi mencari nafkah di tanah orang, atau menuntut ilmu di tanah orang. ‘Sudara-sudara pigi blayar satu-satu. Nda sadar tana mulai takere sadiki-sadiki’
Tanpa disadari memang, dengan semakin banyak orang meninggalkan kampung halamannya, maka lambat laun, sedikit demi sedikit kampungnya sendiri akan mulai terbiarkan. Kecuali kalau mereka-mereka yang pergi merantau itu mau kembali lagi untuk membangun kampung halamannya, atau setidak-tidaknya berbuat sesuatu di kampung halamannya meskipun domisilinya tidak lagi di situ. Maka ingatlah kampung halamanmu.
Saya tidak akan melupakan kampung halaman saya. Meskipun secara sadar saya mesti mengakui bahwa saya sesungguhnya adalah warga Negara Indonesia, sehingga kampung halaman saya adalah INDONESIA, dimana pun kaki saya dipijakkan. Kampung halaman akan tetap menjadi ‘home sweet home’ yang ada dalam sanubari ini. Dapa inga pulang kampung kwa!
Vladimir Putin pernah berkata seperti ini, “I don't read books by people who have betrayed the Motherland”. So guys, jangan sekali-kali menghianati atau melupakan kampung halamanmu yah….Cheers! ---Michael Sendow---
Catatan: Tulisan ini juga saya dedikasikan juga untuk sastrawan penulis puisi di atas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H