Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Logika Sesat Pikir dalam Kampanye Mesti Dilawan!

1 Juli 2014   03:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:03 1760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1404134640832382243

[caption id="attachment_331490" align="aligncenter" width="652" caption="Foto bersama Akbar dan Cak Lontong (personil ILK) pada saat acara Netizen dan Jokowi. Saya tanya, "][/caption]

[Foto bersama Akbar dan Cak Lontong (personil ILK) pada saat acara Netizen dan Jokowi. Saya tanya, "Cak kamu pilih siapa?" Cak Lontong, "Nomor 2 doooong...". Ya kita menghargai pilihan masing-masing orang ]

Saya paling tidak suka berbicara munafik dengan mereka yang membenci perbedaan. Apalagi dengan mereka yang begitu kasar karena sebuah perbedaan. Bahkan kepada mereka yang selalu memakai SARA sebagai senjata menistakan, atau mendiskreditkan seseorang. Ingat, sekarang ini sudah bukan zamannya lagi kita menggunakan sentiment SARA, untuk tujuan dan untuk alasan apapun.

Saya tidak pernah membenci orangnya, apapun agamanya, dan pilihan politiknya. Namun masih begitu banyak yang dengan senangnya mendiskreditkan seseorang dengan ucapan-ucapan tidak sopan serta mengandung kebencian, karena berbeda agama dan keyakinan. Entah mengapa orang-orang ini tidak pernah mau membuka diri terhadap perbedaan. Padahal perbedaan dan keragaman itu sungguh indah. Sudah ratusan kali saya menulis tentang itu.

Kompasiana kini semakin dipenuhi banyak kompasianer. Memang betul, sangat gampang untuk membuat akun di Kompasiana. Dan justru karena itulah, mungkin sekali ada banyak yang membuat akun sengaja untuk membully, menjatuhkan, dan melecehkan kompasianer lainnya. Ada akun yang sering menyerang dengan membabi buta tanpa pernah memberikan logika yang masuk akal, malah disertai tuduhan dan dibumbui caci maki. Saya banyak kali membaca komentar-komentar mereka. Ada juga yang begitu gampangnya menuduh orang dan mengata-ngatai orang, seperi satu Kompasianer dari negeri antah berantah ini dalam memberikan komentar di tulisan saya di sini: Menghargai keberagaman di negeri yang-beragam Lihat komentar dia di barisan paling atas, sungguh membuat saya muak mau muntah.


Saya heran, dunia yang sebegini modernnya, masih saja ada orang-orang yang katanya pintar namun isi kepalanya sedangkal itu. Kalau Anda ingin dianggap orang yang beradab dan bermartabat, think twice before you submit your comments. Siapa Anda dapat dilihat dari apa yang Anda tulis. You are what you write. And, you are what you say.

Orang berhak dan bebas memilih apapun yang dia ingin pilih. Bahkan kalau boleh saya katakan, salah satu hak paling asasi yang manusia miliki, selain hak untuk hidup (bernafas), adalah juga hak untuk berbeda. Dalam arti, kita bisa dan harus diterima untuk berbeda dalam hal apapun. Dalam hal keyakinan dan agama, dalam hal pilihan politik, dalam hal pilihan capres, dan sebagainya. Jangan kemudian, hanya karena kita berbeda, orang lain dengan gampangnya merendahkan kita. Kalau saya, akan saya lawan sampai mati kalau ada orang-orang yang merendahkan dan menista keberbedaan saya, termasuk dalam hal keyakinan saya yang berbeda.

Lihat saja, saya kasihan juga dan terheran-heran melihat banyak artis yang dibully karena perbedaan pilihan tersebut. Melanie Subono dikata-katai hanya karena ada kecenderungan ‘menyukai’ Jokowi tatkala Ahmad Dhani lagi bertingkah dengan seragamnya itu. Sarah Sechan ‘dikasari’ karena memberi dukungan pada salah seorang capres. Begitu juga dengan Cinta Laura, dan beberapa artis lainnya. Cak Lontong juga umpamanya, dikatai bahwa dia seharusnya tidak perlu mendukung salah satu capres (Jokowi). Lho, kenapa? Apakah artis tidak boleh menyatakan pilihannya? Siapapun bebas menentukan pilihannya. Kita juga perlu memberikan ‘ruang kebebasan’ seluas-luasnya untuk mendukung siapa saja yang mereka rasa paling pantas memimpin negeri ini. (Lihat saja komentar-komentar di twitter mereka).

Ahmad Dhani, Raja, Rafi Ahmad, dan lain sebagainya itu, silakan mendukung Prabowo. SLANK, Oppie, Achmad Albar, dan seterusnya itu, silakan mendukung Jokowi. Bebas-bebas saja dan sah-sah saja. Nah, ketika mulai muncul kata-kata tidak sopan dan tidak santun dari begitu banyak fans mereka, maka di situlah letaknya pemberangusan kebebasan untuk memilih. Memberi opini dan logika masuk akal tentu dapat diterima dengan baik, tapi menggunakan kata-kata kasar dan membully tanpa tendeng aling-aling, ini yang mesti diberantas, tidak dapat ditolerir sama sekali.

Sama hal juga dengan para kader partai yang pindah haluan. Menurut saya itu sah-sah saja. Secara pribadi masing-masing memiliki hak untuk menentukan pilihannya, terlepas itu adalah ‘amanat’ partai atau tidak. Hak untuk berbeda itu dilindungi undang-undang. Lebih tinggi dari peraturan partai. Kalau mereka lebih memilih hati nurani ya silakan saja, nggak usah diributkan. Ada beberapa Kader Partai Golkar mendukung Jokowi-JK ya silakan. Ada Kader Partai Gerindra mendukung Jokowi-JK ya silakan. Ada Kader PDIP mendukung Prabowo-Hatta ya silakan juga. Sederhana.

Segala sesuatu di dunia ini pasti berbeda-beda. Allah sudah menciptakan segalanya berbeda-beda. Semuanya beraneka ragam atau mejemuk. Perbedaan itu adalah hakiki dan sebuah keniscayaan. Bila kita hendak menolaknya, berarti serempak kita menolak apa yang sudah Tuhan buat. Tidak ada orang, pohon, hewan, pemikiran, keyakinan, atau apapun ciptaan Tuhan di dunia ini yang bertipe tunggal. Makanya, masing-masing jenis atau macam itu mempunyai keistimewaan, keindahan, serta kemuliaannya masing-masing. Jangan saling cakar karena merasa diri paling mulia.

Duduk perkara memahami perbedaan itu bagi sebagian orang mungkin masilah amat pelik. Acap kali justru yang muncul ke permukaan adalah perbedaan itu harus dilawan. Yang tidak sama dengan kita berarti adalah musuh. Ini logika berpikir yang salah kaprah dan jelas sekali sesat serta menyesatkan. Justru, entah sekarang, entah nanti, kita mesti bekerja sama dengan yang berbeda itu. Karena kita tinggal di negeri yang sama, maka kita mau tidak mau harus bekerja sama dengan mereka yang berbeda dengan kita. Sungguh keliru bila perbedaan dijadikan alasan untuk menyerang dan ‘membunuh’ seseorang. Pembunuhan lewat kata-kata itu sungguh menyakitkan dan menyesakkan. Percayalah, kerap kali pembunuhan lewat kata-kata dan komentar kita membuat seseorang itu akan susah makan dan minum.

Mungkin kita masih ingat cerita tentang ketika Soekarno jatuh pada tahun 1965. Kala itu, ada banyak orang yang mendukung Soekarno berbalik, dan lantas langsung menghujatnya. Dan salah seorang yang kena hujatan mereka juga adalah Menlu Subandrio yang diadili di Mahkamah Militer. Saat itu Yap Thiam Hien yang menjadi pembelanya. Pledoi Yap terkenal sampai ke berbagai belahan dunia. Dalam pledoi itu Yap berdalil bahwa memang benar Subandrio bersalah menjadi pendukung Soekarno, tetapi pada waktu itu kite semua menjadi pendukung Soekarno. Oleh sebab itu, siapa gerangan yang berhak menghukum Subandrio karena mendukung Soekarno, sementara semua kita pada saat itu juga menjadi pendukung Soekarno? Demikianlah salah satu pledoi pembelaan Yap.

Di satu sisi kita berteriak-teriak menghujat satu rezim, padahal kita terlibat juga dalam rezim itu. Di sisi yang lain kita berkoar-koar ingin membuat perubahan, padahal selama bertahun-tahun kita berada dalam sistem pemerintahan, tidak ada perubahan yang dibuat. Atau kalaupun ada, hanya secuil saja yang bahkan tak akan sanggup diingat-ingat oleh siapapun. Di sisi yang lain lagi, banyak yang beretorika supaya jangan memilih pasangan tertentu, padahal dia tidak memberikan alasan logis yang masuk akal dan tidak debatable kenapa tidak boleh memilih calon yang itu?

Nah, masalah-masalah seperti ini tentunya akan disikapi secara berbeda-beda, tergantung dari sisi mana kita memandangnya, dan siapa yang memandangnya. Itu tidak soal, sepanjang kita tidak membuat konflik, dan menghujat serta menistakan orang yang berbeda pandang. Jawab saja dengan argument yang valid dan paling masuk akal. Jawab saja dengan logika berpikir yang mumpuni. Jangan menggunakan cara-cara berpikir “yang penting menang apapun dan bagaimanapun caranya.”

Percayalah, berbeda itu indah. Makanya logika sesat selama masa kampanye sampai pada saat pencoblosan nanti mesti kita lawan. Logika sesat yang dipenuhi caci maki, fitnahan, dan cercaan, yang sudah sangat menjurus ke model kampanye hitam. Semoga kita semakin dewasa dalam berpendapat. Karena setiap orang berhak memilih, saya pilih 2 jempol (two thumbs up) untuk Indonesia. Salam 2 jempol. ---Michael Sendow---

Twitter: @michusa2000

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun