Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

KPK dan POLRI, Siapa Sesungguhnya Musuh Kalian?

27 Januari 2015   21:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:16 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apa yang sementara terjadi di negeri ini, menurut Anda?” Demikianlah salah seorang kerabat dekat saya bertanya. Saya mahfum pertanyaannya menyeruak muncul oleh karena “Hot Topics” yang muncul ke permukaan akhir-akhir ini, utamanya tentang perseteruan Polri dan KPK.

***

Setelah Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang W ditangkap, bahkan sampai tanganya pun diborgol, eh Adnan Pandu Praja menyusul dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri oleh PT Desy Timber. Ini (katanya) terkait kasus perampasan saham di perusahaan tersebut. Nah lebih lucu nan menggelikan lagi, namun sekaligus memiriskan, Ketua KPK, Abraham Samad juga akhirnya dilaporkan ke Bareskrim Polri, terkait pertemuannya dengan sejumlah petinggi parpol sebelum Pilpres 2014, termasuk (katanya) tawaran bantuan penanganan kasus politisi Emir Moeis.

Masalah penangkapan Bambang W saja sudah menjadi ‘buah bibir’, karena dinilai sangat bernuansa politis. Bayangkan saja, kasus tahun 2010 kenapa baru diblow up dan dijadikan momentum hebat saat sekarang ini? Waktu penangkapannya pun terbilang aneh. Apa pasal penangkapan tersebut dianggap aneh? Oleh karena hal itu dilakukan tak lama berselang setelah calon Kapolri dijadikan tersangka oleh KPK. Lantas kemana polisi selama 5 tahun ini, sejak mereka (katanya) menemukan keterlibatan Bambang W dalam kasus kesaksian palsu di MK tersebut.

Tak bisa dipungkiri bahwa perang urat syaraf dan perang “adu kuat” antara buaya dan cicak akan kembali berulang. Entah sampai berapa jilid hal ini akan terus berlanjut.

Nampaknya genderang perang itu sudah ditabuh sejak penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK, di saat DPR sedang melakukan persiapan “meloloskan” sang calon untuk supaya bisa segera dilantik Presiden.

Ketika KPK mengumumkan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka, Presiden Jokowi pun akhirnya menunda pelantikannya sebagai Kapolri. Hal ini tentu membuat sang buaya naik pitam. Maka, kasus 2010 dijadikan senjata (salah satu saja). Cicakpun digertak dengan mempertersangkakan Bambang W.  Setelah itu, Wakil Ketua KPK yang lain, bahkan kini Ketua KPK juga mulai dihantam.

Masalahnya sekarang, kalau dua institusi yang mestinya menjadi harapan rakyat, sudah saling “serang” lalu siapa yang dirugikan? Kita yang rugi. Rakyat Indonesia. Sebab dua institusi ini harusnya adalah yang paling diandalkan dalam membela hukum dan keadilan, memberantas korupsi dan penyelewangan, yang mestinya saling dukung, sokong, dan bekerjasama. Bukannya malah saling ‘gesek menggesek’ dan ‘acak mengacak’.

Saya pernah membaca pesan Pak SBY di akun Twitternya. Intinya adalah mari kita selamatkan Indonesia, Polri, dan Presiden. Dengarkan suara rakyat. Hal itu diungkapan saat ribut-ribut pemberhentian Sutarman dan pengajuan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri. Tentu dalam ungkapan itu tersirat makna yang sangat dalam. Nah, kini saatnya pesan moral tersebut harus juga ditambahkan, ya, tambahkan dengan hastag selamatkan KPK.

Mudah-mudahan tidak ada yang memanfaatkan situasi ini untuk memancing di air keruh. Jangan-jangan, kerja murni dan tulusnya Polri dan KPK justru menjadi keruh oleh gesekan-gesekan yang sebetulnya tidak perlu. Jangan-jangan kejadian-kejadian ini justru ada yang sangat diuntungkan? Siapa yang diuntungkan? Oh siapa lagi kalau bukan para koruptor licik nan rakus itu.

Bukankah buaya dan cicak sama-sama jalannya merayap, jadi jangan saling seranglah. Jangan biarkan ada yang tertawa-tawa senang, sementara kalian sudah saling cakar dan saling gigit. Kasihan kalian. Kasihan juga kita rakyat biasa ini. Lawan Polri bukan KPK. Lawan KPK sebaliknya bukan juga Polri. Lawan kalian yang sesungguhnya adalah para koruptor. Di sarang para penyamun itulah kalian mestinya bersatu padu masuk dan membongkarnya. Itu juga, kalau kalian masih memegang amanah rakyat.

Coba kita cermati. Lembaga dan institusi mana di negeri ini yang tidak disantroni maling? Hampir tidak ada satupun lembaga atau institusi yang kita punyai yang bebas korupsi. Maling-maling bertitel keren sebagai koruptor itu hadir dan muncul dimana-mana. Mereka itu sudah mewabah, dan sakit yang mereka ciptakan sudah teramat akut. Kekronisan dari penyakit yang ditimbulkan oleh korupsi ini tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Hadir menggerogoti setiap sendi-sendi negeri ini. Melumat hampir semua ruang yang dilaluinya. Laksana ruang gelap yang tak kita jumpai lagi berkas cahaya terang. Ibarat tidak lagi ada ruang pengharapan di sana. Pengharapan bahwa negeri kita akan bebas dari korupsi. (sumber kutipan: Kompasiana/Michael Sendow)

Ada sebuah organisasi non profit yang selama ini memiliki perhatian sangat khusus terhadap korupsi. Organisasi ini kerap kali melakukan survei soal korupsi. Nama organisasi ini adalah Transparansi Internasional (TI). Pada tahun 2013 mereka mengeluarkan daftar tentang indeks persepsi korupsi selama tahun 2013. Lantas bagaimanakah hasilnya? Ternyata, adalah bahwa Negara-negara Afganistan, Korea Utara dan Somalia menjadi tiga negara terkorup tahun 2013.  Lantas bagaimana dengan posisi Indonesia? Berdasarkan situs resmi TI, Indonesia ternyata berada di posisi ke-114 dengan indeks persepsi 32. Posisi Indonesia ini masih sangat jauh bila dibandingkan dengan posisi Singapura, yang menjadi satu-satunya negara Asia bertengger di posisi ke-5 dengan indeks persepsi 86. Artinya Indonesia masilah termasuk dalam daftar negara-negara terkorup.

Menurut peneliti utama TI, Finn Heinrich, korupsi pastilah akan sangat melukai kaum miskin. Dan menurutnya, itulah yang sesungguhnya Anda lihat ketika menyaksikan bagian paling bawah dan paling miskin dari suatu negara. Selain merugikan negara, maka perbuatan korupsi juga pasti akan menyengsarakan rakyat kecil. Warga negara mana yang tidak akan sakit hati dan terpukul melihat negaranya masuk dalam urutan tukang korup terhebat? Semakin korup sebuah negara, pasti rakyatnya akan semakin miskin dan sengsara.

Inilah yang harusnya dibenahi di negeri ini. Dan ujung tombak perjuangan memberantas korupsi ada di tangan dan di pundak KPK dan Polri.

Di bulan Desember, tepatnya tanggal 9 Desember, seluruh warga dunia selalu merayakan hari anti korupsi. Namun sayangnya, Indonesia sepertinya tidak mengenal perayaan itu. Di sini, 364 hari dalam setahun adalah hari biasa, dimana korupsi pun akan tetap berjalan sebagaimana biasanya. Korupsi tetap akan terus merajalela dan semakin menggila. Bisa jadi, di Indonesia “hari anti korupsi” itu masih tidak lazim. Justru yang lazin dan lumrah adalah “hari-hari korupsi”. Artinya, tiap hari harus korupsi. karena itulah yang terjadi setiap harinya. Kebiasaan yang membudaya. Budaya korup yang terbiasakan. Saking sangat biasanya, orang tidak tahu malu lagi melakukannya.

Karena korupsi di negeri ini sudah begitu akut. Laiknya sakit kronis yang susah disembuhkan. Bahkan pun, karena politisi dan pejabat korup di negeri ini sudah begitu membudaya, maka politisi atau pejabat yang kebetulan bersih sekalipun bisa saja akan tetap dicap korup dan kotor juga. Inilah mungkin arti dari pribahasa yang berkata bahwa nila setitik dapat merusak susu sebelanga itu, atau dalam bahasa Henry Kissinger ia membahasakannya begini, “Corrupt politicians make the other ten percent look bad.” Semoga Indonesia cepat bangkit dari ketertinggalan dan keterpurukannya.

Jadi wahai Polri dan KPK, siapakah lawanmu sesungguhnya?

---Michael Sendow---

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun