Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bangsa Indonesia Sudah Merdeka, Tapi Belum Benar-benar...

17 Agustus 2012   02:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:38 2230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bangsa Kita Sudah Merdeka (17 Agustus 1945), Tapi Masih Banyak Pekerjaan Rumah

[caption id="attachment_200709" align="aligncenter" width="464" caption="Pengibaraan Sang Saka Merah Putih (Photo: Antara/ Widodo S Jusuf)"][/caption] Tujuh Belas Agustus Tahun 1945 bagi saya bukan hanya sebuah kenangan peristiwa kemerdekaan Indonesia, tapi juga kenangan pernikahan kakek dan nenek saya. Mereka menikah tepat di hari kemerdekaan itu, di tahun yang sama. Nenek saya yang warga negara Finlandia, dan kebetulan bekerja di Indonesia sebagai utusan palang merah dunia sempat ditahan karena dikira warga Belanda. Ia kemudian dilepaskan setelah menjelaskan panjang lebar bahwa ia adalah warga negara Finlandia dan bukan ‘komplotan’nya si penjajah. Kakek saya menceritakan tentang hiruk pikuknya keadaan saat itu. Kemeriahan dan ‘pekik’kemenangan’ terus berkumandang di sana-sini. Siaran-siaran radio memancarkan gema kemenangan dan kemerdekaan itu sampai ke pelosok negeri. Tiada yang lebih indah daripada menyaksikan betapa antusisnya bangsa ini menyambut kemerdekaan kala itu. Hampir semua wajah mungkin memancarkan pesona kegirangan yang sama. Begitu banyak lutut yang bertelut dan tangan menengadah seraya menaikkan ucapan syukur ke hadirat Yang Maha Kuasa. Beberapa hari sebelum bendera Merah Putih bebas berkibar, dua bom atom dijatuhkan Amerika di atas Hirosima dan Nagasaki. Letusan maha dahsyat bom atom tersebut menyebabkan Jepang ‘terpaksa’ menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun secara tepat dan berani dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya. “MEDEKA!!” Itulah pekik kemerdekaan yang sepertinya tak lekang dimakan zaman. Di saat yang sama, tapi tempat terpisah, kakek dan nenek saya pun berucap “Merdeka!....Merdeka karena mereka akhirnya menikah, dank arena bangsa ini terbebas sudah…” Pekerjaan Rumah Perlu Diselesaikan Saya mengajak kita menelusuri bait demi bait pada lagu berikut ini:

Tujuh belas Agustus tahun empat lima Itulah hati kemerdekaan kita Hari merdeka Nusa dan Bangsa Hari lahirnya bangsa Indonesia Merdeka

Sekali merdeka tetap merdeka Selama hayat masih dikandung badan

Kita tetap setia tetap setia Mempertahankan Indonesia Kita tetap setia tetap setia Membangun negara kita

Siapa yang tidak terharu dan rasa nasionalitas tidak terpompa mendengar dan menyanyikan lagu berjudul ‘Hari Merdeka’ gubahan H. Mutahar tersebut? Setiap memeringati hari kemerdekaan kita, di seluruh pelosok negeri, telinga kita akan mendengar lagu ini yang dengan bangga dan penuh semangat dinyanyikan. Tapi rupa-rupanya ada makna terdalam kemerdekaan yang mulai menghilang dari semangat rakyat Indonesia masa kini yang masih terus menyanyikan lagu tersebut. Bagian yang hilang itu adalah bagaimana memaknai kemerdekaan itu sendiri. Bukankah sebagian besar kita masih bingung apabila ditanyai apa arti merdeka yang sebenarnya. Bahkan masih ada yang selalu mempertanyakan apakah bangsa kita sudah benar-benar merdeka? Kebingungan ini adalah wajar dan lumrah. Kita memang sudah merdeka dari keterjajahan secara fisik, artinya kita bebas dari penjajahan bangsa lain. Pertanyaannya apakah hanya sebatas itu kemerdekaan yang kita semua, bangsa ini idamkan? Padahal hakikat sebenar-benarnya dari kemerdekaan itu harus komprehensif, menyeluruh, dan bukan sepotong-sepotong. Kemerdekaan yang utuh itulah yang belum dapat dinikmati secara nyata. Merdeka itu, bagi saya adalah bebas dari segala macam bentuk penjajahan baik secara fisik, ekonomi, politik, dan budaya. Pekerjaan rumah bagi pemerintah dan kita semua adalah memerdekaan apa-apa yang nyata-nyata belum merdeka. Perut belum merdeka dari rasa lapar mungkin soal kecil, anak-anak belum merdeka dari buta huruf mungkin soal kecil lainnya. Lantas bagaimana dengan belum merdekanya kita dari ketergantungan? Umpamanya ketergantungan dari bantuan dana bangsa lain, bank dunia, dan lembaga-lembaga keuangan? Atau misalnya, belum merdekanya budaya kita dari penjajahan budaya lain? Atau soal belum mampunya kita terbebas dan merdeka dari para koruptor? Tentu itu sudah menjadi soal besar. Jangan sekali-kali kita meremehkan pekerjaan rumah itu, entahkah itu soal kecil atau besar. Ada sekian banyak pekerjaan rumah yang menanti kita. Selama kita bangga dengan pekik kemerdekaan ketika 17 Agustus tiba, maka semangat berkobar dalam darah dan jiwa harus terus terpompa untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah tersebut. Apa gunanya bendera merah putih dikibarkan dengan gagahnya, diiringi tangan-tangan terhormat yang naik terangkat untuk menghormat, sementara banyak tangan yang lain sibuk terangkat meminta sedekah, bantuan luar negeri, bahkan meminta ‘upeti’? Sekali Merdeka Tetap Merdeka Setiap tahun kita merayakan peringatan kemerdekaan bangsa kita. Di luar negeri pun, dimana ada komunitas Indonesia, perayaan itu tetap dirayakan. Di Amerika, Inggris, Jepang, Australia, bahkan di bekas penjajah kita Belanda, perayaan memperingati kemerdekaan Republik Indonesia selalu ada tiap tahunnya. Itulah simbolisasi sekali merdeka tetap merdeka, artinya sekali perayaan kemerdekaan dilangusngkan maka tiap tahun harus ada peringatannya. Ya iya, kenyataannya memang seperti itu. Rutinitas merayakan perayaan kemerdekaan tinggal kebiasaan belaka. Mana lagi ada keharuan begitu mendalam seperti ketika tahun-tahun pertama kemerdekaan itu diraih? “Sekali merdeka tetap merdeka” belum terealisasi secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia kadang hanya menyoal soal kulit luar semata. Ia kadang hanya mengungkap makna retoris penuh sensasi belaka, tanpa menyatakan kebenaran esensi. Padahal esensi kata kemerdekaan itu sangat dalam dan penuh arti, bukan slogan, dan bukan pula hanya sebatas ungkapan syair lagu. Sekarang setelah 67 tahun Indonesia merdeka, banyak air mata yang terus tertumpah, bukan lagi karena terharu akan kemerdekaan yang sudah diraih, tapi karena kemirisan dan ironisnya hidup. Kita masih terjajah oleh budaya asing, terjajah oleh produk asing, terjajah oleh lembaga asing, terjajah oleh rasa lapar dan haus, terjajah oleh ketergantungan. Itulah kenyataan dan itulah pekerjaan rumah yang harus segera terbenahi. Cukup lama kita menanti. Kini sudah 67 tahun berlalu, kalau ibaratnya manusia, sudah memasuki usia renta. Kalau saja kakek saya masih hidup, usianya kini ya sekitar 90-an tahun. Sudah sangat renta. Saya meragu apakah ia masih akan berteriak pekik yang sama yang ia dan nenek saya teriakkan pada 67 tahun lalu. Ayo, mari kita tuntaskan tugas kita. Kita selesaikan pekerjaan rumah kita. Pemerintah juga, jangan hanya terlihat gagah ketika upacara bendera berlangsung. Singsingkanlah lengan baju kalian untuk mewujudkan bahwa sekali merdeka tetap merdeka itu nyata dan terasa.

“Dirgahayu Republik Indonesia!”

Michael Sendow

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun