Mohon tunggu...
Anna Maria
Anna Maria Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer | Teacher | Heritage Lover | Kebaya Indonesia

Love my life, my family, my friends, my country, my JESUS CHRIST

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Berjuang Hidup dengan Anxiety dan ADHD

24 Juli 2019   20:04 Diperbarui: 24 Juli 2019   20:10 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan saya, dengan pikiran-pikiran yang berdialog satu sama lain, dengan pikiran yang berloncatan kehilangan fokus lalu memberi dampak pada pembawaan emosi jet coaster (naik turun), kemudian pikiran curiga ketika berada di lingkungan di mana pun saya berada, saya takut mereka tidak menyukai saya, serba takut ini dan itu. Semuanya sangat tidak nyaman, mengganggu bahkan dulu saat remaja saya sering mencoba menyakiti diri sendiri.

Kemudian saya bersentuhan dengan dunia psikologi karena kakak mengambil studi di jurusan tersebut. Saya suka membaca buku-bukunya, yang mudah dipahami bagi saya tentunya. Kakak, atau mbak panggilannya, sering menjadikan saya sebagai 'pasien' saat berkuliah dulu. Satu yang ditemukan adalah saya memiliki kegelisahan tinggi, bergantung pada orang lain.

Kemudian pada satu titik 'jatuh'nya saya saat mengalami pelbagai masalah dan saya sudah menunjukkan gejala depresi berat, kehilangan waktu sesaat, dan beberapa memori pun seperti hilang. Saat itu juga saya menyadari bahwa saya butuh pertolongan, maka saya menemui psikolog di kampus dan mengarahkan saya kepada rekannya di lembaga konseling yang diasuh salah satu universitas lain.

Berkali-kali dan pindah-pindah tempat konseling membawa saya untuk berkenalan dengan penyakit mental yang saya derita. Pada saat itu, saya hanya suka bercerita, sehingga seseorang yang kini menjadi sahabat saya akhirnya menyentil, "Lalu, jika kamu seperti itu, terus kenapa? Lalu mau apa? Selanjutnya mau bagaimana? Masa mau seperti ini terus?"

Tidak berhenti di situ, dia pun seringkali spontan menegur jika saya mengeluarkan candaan yang mengarah penilaian negatif ke diri saya sendiri. Dia membantu saya menyadari potensi besar dari diri saya. Kemudian, pengalaman-pengalaman lain di komunitas kerohanian memberikan saya pandangan lain sehingga saya bisa berdamai dengan diri sendiri dan mengangkat nilai positif diri saya.

Di sini saya ingin berbagi, bukan memaksa. Saya bercerita dari sisi saya yang mungkin bisa jadi Anda bisa mengambil langkah sama tapi belum tentu berhasil atau malah lebih berhasil. Di mana ukuran keberhasilannya? Jika saya mau sabar melakukan dengan telaten langkah berulang dan perlahan meningkat ketika satu tahapan berhasil menangani, kemudian mau kembali ke langkah awal jika yang satu itu pun gagal.

Ini beberapa tahapan yang saya lakukan:

1. Berdamai dengan diri sendiri.

Berdamai bukan sekedar mengakui, tapi menerima dengan rela. Jika berdamai maka harus ada pengampunan. Saya seringkali menyesali dan memarahi diri sendiri dengan persoalan masa lalu yang kesannya memalukan.

2. Merasa dicintai oleh YANG TEPAT

Apakah saya bisa berdamai dengan diri sendiri dengan kemampuan saya? Tidak sepenuhnya, saya butuh orang lain, dan orang lain itu yang mengarahkan saya kepada Tuhan. Ya, hubungan vertikal saya harus diperbaiki juga. Saya rasa cara salah satu konselor saya sangat tepat. Dia bilang begini, "Anna, kamu tahu Tuhan sangat mengasihi kamu?Ya, Tuhan sangat mengasihi kamu." Yang berurai airmata itu dia, saya menangis dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun