Mohon tunggu...
MICHELLE YEUNG DAUNA
MICHELLE YEUNG DAUNA Mohon Tunggu... Mahasiswa - berprofesi sebagai mahasiswa

hobi menjalankan bisnis online

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Merajut Budaya Lokal dalam Konstelasi Budaya Nusantara

29 Juni 2022   11:10 Diperbarui: 29 Juni 2022   11:24 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tepatnya di Surakarta pada saat kongres kebudayaan tahun 1935, telah menyeruak kepermukaan perdebatan mengenai budaya nusantara. Saat itu muncul ide kebudayaan Indonesia Raya yang dilontarkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Pumpunan yang menjadi sentral perdebatan adalah seputar persoalan substansial dan fungsional dari konsep kebudayaan. 

Hasil perdebatan itu tampaknya menjiwai formulasi pasal 32 UUD 45 seperti berikut ini" Kubudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budidaya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak -- puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. 

Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya atau persatuan yang tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi kemanusiaan bangsa Indonesia".

Atas dasar itu budaya nusantara mesti dipahami pada dimensi-dimensi kehidupan lokal. Secara substansial kebudayaan nusantara tersebut adalah puncak dari kebudayaan daerah dan asing. 

Disamping itu secara fungsional tampak bahwa kebudayaan nusantara merupakan unsur-unsur kebudayaan daerah yang mendapat pengakuan secara luas dan sekaligus sebagai simbol identitas nasional. Persoalannya adalah sejauh mana dimensi budaya lokal dapat memberikan warna  terhadap budaya nusantara? Apakah budaya lokal dapat digunakan untuk membentuk karakteristik budaya nasional yang memiliki kesadaran akan integrasi budaya nusantara?

BUDAYA LOKAL
Secara empirik bangsa Indonesia dibangun atas dasar kesatuan sosial atau suku/bangsa/golongan. Setiap kesatuan sosial dapat diidentifikasi memiliki perbedaan latar belakang budaya, bahasa,   adat istiadat, agama, kesenian dan lain sebagainya yang menetap dalam suatu kesatuan wilayah tertentu. Selain perbedaan kebudayaan, secara kuantitatif masing-masing suku bangsa memiliki komposisi yang berbeda-beda. 

Sebagai contoh, suku Jawa berjumlah 41,5%, suku Sunda 14,8 %, suku Melayu 5,9%, suku Madura 5.3 %, suku banjar 1,1% dan suku-suku lain seperti suku makasar , sasak, lampung dan lain-lain kurang dari 1 % dari total jumlah rakyat Indonesia (Brown dan Ganguly, 1987). Disamping itu suku-suku bangsa tersebut menganut agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Yakni pemeluk agama Islam sebesar 86,9%, Kristen 6.5% Katholik 3.1%, Hindu 1.9%, Budha1% dan lain-lain mencapai 0.6%.

Menyimak data tersebut, tampak  bahwa di dalam wadah negara Indonesia terkandung aneka ragam suku bangsa dan agama serta dimensi-dimensi kultural yang bersifat pluralistik. 

Mestinya perbedaan-perbedaan itu memberikan nilai sinergik bagi kemajuan bangsa, namun kenyataannya sering terjadi konflik horisontal, perang saudara dan saling membantai. Realitas obyektif ini kemungkinan disuburkan oleh faktor politik dominasi budaya Jawa. 

Kita harus akui bahwa pluralitas masyarakat Indonesia merupakan suatu persoalan yang mungkin tidak pernah selesai dan tuntas untuk dipahami, lantaran masih adanya upaya-upaya baik pendukung etnis/suku bangsa, golongan agama, ideologi politik, yang bersikap mau menang sendiri. 

Dalam sejarah bangsa kita, prilaku seperti ini berkembang dilingkungan budaya Jawa. Suwondo (1999) mengatakan dominasi budaya Jawa dalam segala sendi kehidupan bangsa Indonesia ditentukan oleh beberapa faktor yakni,(1)paham kekuasaan yang bersifat hirarkical. Paham ini menguasai     kelas bawah dari kelompok budaya sendiri juga pada kelompok budaya lain. Prinsip rawe - rawe rantas, malang - malang putung menjadi kepribadian yang kental pada setiap pemimpin   Jawa. Akibatnya para elit Jawa yang mempunyai posisi strategis cenderung untuk memarginalisasi kelompok atau suku lain non Jawa. 

Dalam konteks seperti itulah Sindhunata (1999) menganggap bahwa budaya Jawa sama dengan budaya Nazi Jerman yang bersifat rasis dan fasis, (2). 

Interaksi yang bersifat patronage. Patron memiliki interaksi yang bersumber pada kekayaan, keuangan, jabatan dan perlindungan sedangkan client mempunyai sumber tenaga dan loyalitas. Baik patron maupun client dapat hidup secara harmonis dalam prinsip mutual service. 

Interaksi inilah yang memberikan peluang besar terjadinya penyimpangan wewenang, (3) kecenderungan kekuasaan patrimonialistik, artinya kekuasaan bersifat tunggal, utuh dan tidak terpecah-pecah dan bersifat personal. (4) kecenderungan mengultuskan dan mensakralkan kekuasaan, dan hal itu hanya dimiliki oleh para bangsawan atau priyayi saja.

Kekuasaan hanya berada pada sekitar orang-orang Jawa dan terbatas pada trah bangsawan Jawa. Dominannya kekuasaan Jawa telah membuat perkembangan sivil society dan suku bangsa di luar Jawa menjadi stagnan. Posisi kebudayaan daerah termarginalisasi dan tidak mampu memberikan kontribusi positif dalam pengembangan budaya nusantara.
BUDAYA NUSANTARA
Almarhum Prof. Kuncaraningrat  (1989) mengatakan kebudayaan nasional Indonesia memiliki dua fungsi yakni, (1) sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang memberikan identitas kepada warga negara Indonesia, (2) sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang dapat dipakai oleh semua warga negara Indonesia yang bhinneka untuk saling berkomunkasi dan memperkuat solidaritas. 

Agar kedua fungsi itu dapat dimainkan, maka syarat-syarat yang perlu dipenuhi adalah sebagai berikut: (1) merupakan hasil karya warga negara Indonesia, (2) mengandung ciri khas ke Indonesiaan, (3)mendapat pengakuan bangsa Indonesia sebagai hasil karya tertinggi yang membanggakan dan ke (4) harus dapat dipahami oleh seluruh warga negara Indonesia.

Heterogenitas bangsa Indonesia ditandai oleh kemajemukan budaya dari ratusan suku bangsa. Secara historis kemajemukan bangsa Indonesia hanya bisa dipersatukan oleh sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan ini merupakan salah satu jati diri bangsa. Persoalan yang muncul adalah sejauh mana masyarakat Indonesia memahami secara bertanggungjawab makna bhinneka tunggal ika? Sejarah pulalah yang membuktikan.

Kendati demikian proses menuju loyalitas nasional harus digulirkan secara proporsional, artinya tidak melibas perbedaan yang ada. Tetapi sebaliknya harus menempatkan setiap kelompok pada posisinya yang sejajar. Dengan begitu, ada keseimbangan kepentingan antara loyalitas terhadap ideologi dalam wujud nasionalisme dan pada pihak lain ada loyalitas primordial dalam wujud kebudayaan  lokal. Mengacu kerangka pikir yang demikian, maka budaya lokal merupakan mata rantai dari kebudayaan nusantara. 

Dengan demikian, kebudayaan lokal harus dapat memberikan kontribusi dalam upaya pengembangan kebudayaan nusantara. Secara dimensional kebudayaan merupakan wadah kehidupan yang sangat esensial bagi suatu masyarakat. Atas dasar itu peran nyata budaya lokal adalah sebagai pembentuk identitas  nasional. Sekalipun keberadaan kebudayaan nusantara tidak hanya diperkaya kebudayaan daerah, tetapi dapat pula disuburkan oleh kebudayaan asing.

Dalam tautan yang demikian maka pemahaman kebudayaan nasional harus diletakkan pada prinsip-prinsip (1). Kesatuan (unity), (2) kebebasan (liberty), (3) kesamaan (equality) dan (4) kepribadian ( identity) yang memumpun pada sistem meritokrasi yang menonjolkan prestasi.

Rasa-rasanya kita tidak mempunyai pilihan selain melakukan integrasi nasional melalui kebudayaan. Untuk maksud itu, kita perlu (1) membudayakan masyarakat secara emansipatoris dan egalitarian. Diskriminasi sosial harus dilemahkan sementara isu kesetaraan dan kesederajatan terus digelembungkan dan dilembagakan, (2) pengakuan dan penghargaan atas hak asasi manusia.(3) kebebasan berekspresi bagi setiap kelompok sosial (4). Pengembangan kebudayaan nasional Indonesia harus menjadi prioritas. Hal-hal  tersebut sebenarnya  dapat terealisir. Namun, tergantung komitmen kita sebagai bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun