Tepatnya di Surakarta pada saat kongres kebudayaan tahun 1935, telah menyeruak kepermukaan perdebatan mengenai budaya nusantara. Saat itu muncul ide kebudayaan Indonesia Raya yang dilontarkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Pumpunan yang menjadi sentral perdebatan adalah seputar persoalan substansial dan fungsional dari konsep kebudayaan.Â
Hasil perdebatan itu tampaknya menjiwai formulasi pasal 32 UUD 45 seperti berikut ini" Kubudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budidaya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak -- puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa.Â
Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya atau persatuan yang tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi kemanusiaan bangsa Indonesia".
Atas dasar itu budaya nusantara mesti dipahami pada dimensi-dimensi kehidupan lokal. Secara substansial kebudayaan nusantara tersebut adalah puncak dari kebudayaan daerah dan asing.Â
Disamping itu secara fungsional tampak bahwa kebudayaan nusantara merupakan unsur-unsur kebudayaan daerah yang mendapat pengakuan secara luas dan sekaligus sebagai simbol identitas nasional. Persoalannya adalah sejauh mana dimensi budaya lokal dapat memberikan warna  terhadap budaya nusantara? Apakah budaya lokal dapat digunakan untuk membentuk karakteristik budaya nasional yang memiliki kesadaran akan integrasi budaya nusantara?
BUDAYA LOKAL
Secara empirik bangsa Indonesia dibangun atas dasar kesatuan sosial atau suku/bangsa/golongan. Setiap kesatuan sosial dapat diidentifikasi memiliki perbedaan latar belakang budaya, bahasa, Â adat istiadat, agama, kesenian dan lain sebagainya yang menetap dalam suatu kesatuan wilayah tertentu. Selain perbedaan kebudayaan, secara kuantitatif masing-masing suku bangsa memiliki komposisi yang berbeda-beda.Â
Sebagai contoh, suku Jawa berjumlah 41,5%, suku Sunda 14,8 %, suku Melayu 5,9%, suku Madura 5.3 %, suku banjar 1,1% dan suku-suku lain seperti suku makasar , sasak, lampung dan lain-lain kurang dari 1 % dari total jumlah rakyat Indonesia (Brown dan Ganguly, 1987). Disamping itu suku-suku bangsa tersebut menganut agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Yakni pemeluk agama Islam sebesar 86,9%, Kristen 6.5% Katholik 3.1%, Hindu 1.9%, Budha1% dan lain-lain mencapai 0.6%.
Menyimak data tersebut, tampak  bahwa di dalam wadah negara Indonesia terkandung aneka ragam suku bangsa dan agama serta dimensi-dimensi kultural yang bersifat pluralistik.Â
Mestinya perbedaan-perbedaan itu memberikan nilai sinergik bagi kemajuan bangsa, namun kenyataannya sering terjadi konflik horisontal, perang saudara dan saling membantai. Realitas obyektif ini kemungkinan disuburkan oleh faktor politik dominasi budaya Jawa.Â
Kita harus akui bahwa pluralitas masyarakat Indonesia merupakan suatu persoalan yang mungkin tidak pernah selesai dan tuntas untuk dipahami, lantaran masih adanya upaya-upaya baik pendukung etnis/suku bangsa, golongan agama, ideologi politik, yang bersikap mau menang sendiri.Â
Dalam sejarah bangsa kita, prilaku seperti ini berkembang dilingkungan budaya Jawa. Suwondo (1999) mengatakan dominasi budaya Jawa dalam segala sendi kehidupan bangsa Indonesia ditentukan oleh beberapa faktor yakni,(1)paham kekuasaan yang bersifat hirarkical. Paham ini menguasai   kelas bawah dari kelompok budaya sendiri juga pada kelompok budaya lain. Prinsip rawe - rawe rantas, malang - malang putung menjadi kepribadian yang kental pada setiap pemimpin  Jawa. Akibatnya para elit Jawa yang mempunyai posisi strategis cenderung untuk memarginalisasi kelompok atau suku lain non Jawa.Â