Globalisasi adalah proses integrasi ekonomi, sosial, dan politik antarnegara yang semakin memperkuat keterkaitan satu sama lain. Dalam era global, arus modal, barang, jasa, dan informasi melintasi batas negara dengan sangat cepat. Namun keterbukaan ini juga membawa risiko baru, di mana gejolak di satu negara dapat berdampak luas ke negara lain. Oleh karena itu, pemahaman tentang risiko negara (country risk) menjadi sangat penting bagi pelaku ekonomi global, baik pemerintah, investor, maupun perusahaan multinasional.Â
Lebanon yang dahulu dikenal sebagai "Swiss of the Middle East" karena stabilitas keuangan dan perbankannya, kini menjadi contoh nyata negara yang terjerumus dalam krisis multidimensi. Dalam satu dekade terakhir, Lebanon mengalami kehancuran ekonomi yang sangat parah, didorong oleh kegagalan institusi, korupsi, dan ketergantungan pada modal asing. Krisis Lebanon memperlihatkan interaksi kompleks antara risiko politik, risiko keuangan, dan kegagalan dalam mengelola keterbukaan ekonomi. Studi kasus ini menjadi pelajaran penting tentang bagaimana globalisasi dan country risk dapat saling memperkuat dampak destruktif jika tidak dikelola dengan baik.Â
"Ledakan itu adalah metafora untuk krisis Lebanon saat ini... tatanan politik baru diperlukan," tegas Emmanuel Macron, Presiden Prancis, menyoroti urgensi perubahan politik pasca ledakan Beirut yang memperparah krisis.Â
Latar Belakang Krisis Lebanon
Struktur ekonomi Lebanon sangat bergantung pada sektor jasa, terutama keuangan dan perbankan serta remitansi dari diaspora. Sebelum krisis 2019, remitansi menyumbang sekitar 38% PDB Lebanon, menjadikannya salah satu penerima remitansi terbesar di dunia. Sektor perbankan tumbuh pesat berkat arus modal asing dan kebijakan suku bunga tinggi, sementara pemerintah menumpuk utang luar negeri untuk membiayai defisit fiskal kronis. Ketergantungan pada modal asing dan remitansi membuat ekonomi Lebanon sangat rentan terhadap guncangan eksternal.Â
Lynn Zovighian, Direktur Zovighian Partnership, menegaskan peran vital remitansi dan fenomena dolarisasi dengan menyatakan:
"Realitanya saat ini adalah salah satu sumber pemasukan terpenting bagi keluarga saat ini adalah kiriman uang dari anggota keluarga di luar negeri... Lebanon kini sedang menjalani dolarisasi perekonomian nasional."Â
Di sisi politik, sistem sektarianisme yang kaku dan korupsi sistemik menghambat reformasi ekonomi. Kekuasaan politik dibagi berdasarkan agama, menciptakan oligarki yang memanfaatkan institusi negara demi kepentingan kelompok tertentu, bukan kepentingan nasional. Akibatnya, kebijakan ekonomi sering kali tidak efektif. Kebijakan tersebut gagal mengatasi ketidakseimbangan struktural seperti defisit neraca berjalan, stagnasi ekonomi, dan ketergantungan pada impor. Krisis Lebanon meletus secara dramatis pada 2019, dipicu oleh hilangnya kepercayaan publik terhadap elite politik dan sistem perbankan. Protes massal pecah di seluruh negeri, diikuti dengan pembatasan akses ke simpanan bank (capital control informal), yang semakin memperdalam krisis keuangan dan sosial. Dalam dua tahun, PDB Lebanon anjlok lebih dari 50%, dari $52 miliar pada 2019 menjadi $23 miliar pada 2021, menandai kontraksi ekonomi terburuk dalam sejarahnya.
 Hussein, analis ekonomi Lebanon, menggambarkan penurunan daya beli masyarakat:
"Sebelum krisis, warga yang berpenghasilan 1.500 Pound Lebanon punya uang setara USD 1.000. Sekarang nilainya kurang dari USD 200."Â
Analisis Country Risk: Faktor Politik dan FinansialÂ
Risiko Politik
Ketidakstabilan politik di Lebanon sangat tinggi. Sistem pemerintahan berbasis sektarianisme menciptakan fragmentasi kekuasaan dan menghambat reformasi. Korupsi telah merasuki hampir seluruh lapisan pemerintahan dan lembaga keuangan. Transparency International mencatat penurunan skor Lebanon dalam Corruption Perception Index, menandakan memburuknya persepsi korupsi di negara ini.Â