Mohon tunggu...
michael penituri panjaitan
michael penituri panjaitan Mohon Tunggu... Siswa SMAS Unggul Del

saya suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ngumpul, Bergerak, Berdampak: Solidaritas Kelompok di Era Digital

25 September 2025   06:18 Diperbarui: 25 September 2025   06:18 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Kebersamaan bukan hanya soal berada di tempat yang sama, tapi bergerak ke arah yang sama."

       Di Indonesia, kata "ngumpul" sering kali identik dengan nongkrong, entah itu di warung kopi, di pos ronda, atau sekadar duduk bareng teman. Tapi sekarang, makna ngumpul sudah jauh berubah. Dengan hadirnya media sosial dan ruang digital, orang bisa ngumpul tanpa harus berada di tempat yang sama. Cukup dengan grup WhatsApp, Discord, atau forum daring, solidaritas bisa lahir bahkan menggerakkan ribuan orang.

       Fenomena ini menarik kalau dilihat dari kacamata sosiologi. Kelompok sosial yang dulunya terbatas oleh ruang fisik kini bisa terbentuk secara cair di dunia maya. Ada in group yang bikin kita merasa "ini kelompok gue banget", ada juga out group yang jadi lawan simbolik. Misalnya, di media sosial kita sering lihat bagaimana fans K Pop atau gamers solid banget di dalam komunitasnya, tapi juga bisa berkonflik dengan kelompok lain yang dianggap tidak memahami mereka.

       Di sisi lain, ada juga yang disebut reference group, yaitu kelompok yang dijadikan acuan untuk membentuk identitas. Banyak anak muda sekarang, misalnya, ikut pola konsumsi atau gaya hidup karena terinspirasi dari komunitas digital yang mereka ikuti. Contohnya tren thrifting, gerakan zero waste, atau bahkan campaign politik yang jadi viral. Artinya, kelompok sosial ini punya peran besar, bukan hanya untuk eksistensi, tapi juga untuk arah perubahan sosial.

       Namun, di balik semua itu ada masalah serius. Era digital memang membuat solidaritas lebih mudah tumbuh, tetapi juga memunculkan polarisasi. Menjelang Pemilu 2024 kemarin misalnya, kita bisa melihat betapa tajamnya perpecahan di media sosial. In group dan out group jadi makin kentara bahkan membuat orang sulit berdialog secara sehat. Belum lagi soal hoaks yang sangat mudah menyebar lewat komunitas digital. Banyak orang akhirnya solid, tetapi solid dalam menyebarkan informasi yang salah.

       Di sisi lain, kita tidak boleh melupakan potensi baiknya. Banyak gerakan sosial yang lahir dari solidaritas digital bisa membawa dampak nyata. Ingat saat gempa Cianjur 2022? Ribuan orang ikut donasi online, relawan bermunculan karena awalnya ngumpul di media sosial. Atau gerakan Gejayan Memanggil yang awalnya hanya ajakan di Twitter, tetapi kemudian menjelma menjadi aksi massa besar-besaran di jalan. Di sini kita bisa melihat bahwa solidaritas digital bisa berpindah ke dunia nyata, membawa perubahan yang konkret.

       Kalau ditarik ke teori sosiologi, solidaritas yang terbentuk ini mirip dengan apa yang disebut mile Durkheim sebagai solidaritas organik. Orang-orang dengan peran berbeda saling melengkapi dalam sistem yang lebih luas. Jadi meskipun kita hanya ngumpul lewat layar, dampaknya bisa sampai ke dunia nyata.

       Akhirnya, tantangan kita bukan lagi soal bagaimana membentuk kelompok sosial, karena itu sudah otomatis terjadi. Tantangan sebenarnya adalah bagaimana mengarahkan solidaritas kelompok ini agar tidak jatuh ke polarisasi, hoaks, atau eksklusivitas. Kita butuh literasi digital yang kuat dan keberanian untuk membuka diri ke kelompok lain. Karena pada akhirnya, ngumpul seharusnya bukan hanya soal nongkrong atau sekadar membuat trending tagar, tetapi juga bergerak dan berdampak nyata bagi masyarakat.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun