Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hak Bermain Anak Usia Dini dalam Dilema Covid-19

31 Mei 2021   10:45 Diperbarui: 31 Mei 2021   10:59 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandemi COVID-19, menghadirkan ragam dampak istimewa pada hampir semua segmen kehidupan, tidak terkecuali pada dunia Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD. Salah satunya adalah dengan berubahnya ruang kesempatan anak-anak untuk bereksplorasi dalam aktivitas bermain. Tepatnya, ruang bermain konstruktif. Terkait hal ini, Hurlock (1978: 330) menegaskan bahwa bermain konstruktif merupakan bentuk bermain di mana anak-anak merupakan sebuah tujuan kegembiraan yang diperoleh anak-anak dari konteks membuatnya.

Pandemi juga telah melahirkan anomali dalam dunia pendidikan anak usia dini, di mana kebutuhan bermain dan  bergerak terpaksa tak dapat berbanding lurus dengan terbatasnya kondisi. Artinya, di satu sisi anak butuh kebebasan untuk bermain, sementara di sisi lain anak bisa dikatakan kehilangan lingkungan belajar. Padahal Montessori menegaskan bahwa lingkungan belajar yang kondusif memungkinkan anak dapat bereaksi secara bebas dan mengembangkan dirinya sendiri dalam garis-garis pikirannya sendiri, sebagaimana dipaparkan oleh Heinstock (2002).

Bagi anak, bermain memang merupakan dunia yang krusial bagi dirinya untuk menyerap berbagai pengalaman, serta sebaliknya yakni untuk megekspresikan perasaan mereka terhadap ruang-ruang sosial sekitar. Bahkan dari 10 butir Konvensi Hak Anak yang dideklarasi oleh oraganisasi PBB, hak bermain adalah poin pertama. Ini menegaskan bahwa kehidupan anak butuh sarana bermain. Sementara itu, dipaparkan oleh Unicef (2020) bahwa meskipun nyaris 47 juta rumah tangga (66 persen) memiliki akses internet, pembelajaran jarak jauh secara daring masih menyimpan tantangan. Jelas benar apa yang disampaikan Unicef, di mana masih banyak kebutuhan anak yang belum terakomodasi, dalam hal ini, kebutuhan bermain.

Pengamatan di Lapangan

Salah satun problematika tak terhindarkan yang didapat langsung di lapangan terkait dengan masalah hak bermain anak adalah mudah teralihkannya aktivitas anak-anak terhadap gadget. Artinya, aktivitas bermain gadget seolah menjadi muara atas rangkaian kegiatan anak di rumah. Dalam istilah lain, apa pun aktivitasnya, ujung-ujungnya adalah gadget. Bahkan untuk aktivitas menyelesaikan kuis yang hanya membutuhkan waktu kurang lebih 10 menit, anak bisa melanjutkannya dengan mengakrabi smartphone selama berapa kali lipat dari durasi menyelesaikan tugas.

Fenomena tersebut tidak bisa lepas dari berkurangnya hak bermain. Artinya, ketika di luar masa pandemi anak-anak bisa mengelaborasi rasa penasaran yang dimilikinya dengan cara bermain, anak juga bisa memuaskan hasrat berteman melalui bermain, bahkan anak bisa menikmati atmosfer sekolah karena memang tersedia ruang dan waktu bermain. Maka menjadi sangat berbeda dengan adanya takdir pandemi. Anak tak seleluasa menikmaati ruang dan waktu bermain. Sehingga inilah sebuah paradoks dari fungsi bermain, di mana salah satunya adalah untuk membantu aktualisasi otak anak karena menyimpan variabilitas yang secara potensial ada dalam otak manusia (Utama: 2020).

Analisis

Mengapa bisa terjadi, di mana anak kehilangan hak eksplorasi bermainnya di saat pandemi. Pertama, karena pembelajaran di masa pandemi mengakibatkan sebagian banyak guru merasa bingung dalam mendesain program, sehingga bukan tidak mungkin terjadi stuck atau kemandegan gagasan, di mana hal ini bermuara pada hilangnya kesempatan anak untuk bergerak dan bermain. Kedua, pembelajaran di masa pandemi, disadari atau tidak telah menggiring para guru untuk menjadikan pembelajaran jaringan sebagai sebuah pilihan yang sebetulnya tak luput dari resiko atau dampak negatif. Ketiga, keberadaan orang tua di rumah tidak bisa sama persis pola terstrukturnya dengan apa yang biasa disampaikan oleh guru di sekolah, di mana rencana kegiatan, urutan belajar dan media yang diperlukan dikemas sedemikian rupa.

Terkait fenomena tersebut, Baumer (2013) secara tegas mengutarakan bahwa anak-anak membutuhkan dan mencari berbagai bentuk keterlibatan bersama dengan orang dewasa, yang kemudian bisa kita tangkap sebagai pentingnya sebuah ikatan (engagement). Sebagaimana Ginsburgh (2021) dan Megawanti (2012) menegaskan pula bahwa bermain merupakan bagian masa kecil yang sangat sayang terlewatkan yang menawarkan manfaat pada masa penting perkembangan anak-anak, di mana mereka berkesempatan terlibat dengan orang tuanya.  

Selanjutnya, memang tak dapat dipungkiri bahwa anak butuh menikmati dan merasakan kemanfaatan dari setiap fase tumbuh dan berkembangnya. Sebagiamana ditegaskan oleh Oberlander (2000) bahwa para orang tua dan pengasuh anak harus sadar apa yang dapat dan harus mereka lakukan untuk membuat si kecil menikmati dan banyak mendapat manfaat dalam setiap tahap perkembangannya. Jadi, sesederhana anak bermain petak umpet, sesederhana anak berlomba memasukkan air ke dalam botol, semuanya itu adalah pemuas bagi mereka menemukan dunianya.

Persoalannya, ketika cara yang dilakukan orang tua tak seterstruktur guru di sekolah, ketika aktivitas yang guru hadirkan lebih sedikit dari biasanya, ketika bermain gadget tetap menjadi pilihan, inilah yang kemudian menjadi keresahan bersama yang sebetulnya butuh solusi yang berarti. Sementara pandangan Frued sebagaimana diutip oleh Mutiah dalam Pratiwi, dkk (2018: 335) bahwa bermain sama dengan fantasi atau lamunan, di mana melalui bermain ataupun fantasi, seseorang dapat memproyeksi harapan-harapan maupun konflik pribadi. Namun lagi-lagi, konteks bermain seperti yang ditegaskan oleh Freud, butuh dikawal dan diarahkan bahkan dipantik oleh orang dewasa.

Selanjutnya, Nourot (2007) memaparkan bahwa dalam aktivitas bermain, anak-anak mengintegrasikan semua jenis pembelajaran fisik, sosial, emosional, intelektual, dan bahasa. Ini artinya, dalam satu momentum berharga bernama aktivitas bermain, seorang anak meraih pemenuhan hak untuk semua bidang perkembagannya. Dengan demikian, nyata dan tegas bahwa momentum bermain di masa pandemi memang harus diperjuangkan. Lalu seperti apakah kira-kira dan upaya efektif apa yang bisa diprakarsai? Silakan disimak melalui tawaran program berikut.

Tawaran Program

Guru harus mampu menjadi sutradara terhadap keberlangsungan pendidikan anak, meskipun di masa pandemi, anak bersama orang tuanya di rumah. Sebagaimana dijelaskan oleh Harris, dkk (2011) bahwa pendidik anak usia dini idealnya tahu tentang betapa pentingnya bermain bagi kehidupan anak-anak. Menurutnya, bermain tidak hanya menyenangkan dan aktivitas spontan anak kecil, melainkan bagaimana aktivitas tersebut dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pengembanganpsikologis anak-anak. Oleh karena itu, pandemi menjadi ladang mengerahkan reputasi bagi guru untuk dapat menghadirkan tawaran program.

Salah satu tawaran yang bisa dilakukan oleh para guru sebagai penanggung jawab pembelajaran bagi para murid --dalam hal ini Anak Usia Dini- adalah dengan mengefektifkan pembelajaran online yang diselenggarakan, baik secara sinkronus maupun asinkronus. Artinya, guru mengoptimalkan pola keduanya (sinkronus dan asinkoronus) dalam mengakomodasi hak bermain anak, meski jarak yang terpisah. Sebagaiamana dijelaskan oleh Hartanto dalam Madea dan Ayuningtyas (2020), bahwa tipe pembelajaran jarak jauh ada dua yaitu pembelajaran secara sinkronus dan asinkronus. Adapun sinkronus itu sendiri adalah pelaksanaan belajar dalam waktu yang bersamaan, sedangkan asinkronus adalah belajar di mana pelaksanaannya tidak berlangsung dalam waktu yang sama.

Sebagai contoh,berikut adalah beberapa tawaran program yang bisa diupayakan.

Optimalisasi Pembelajaran Sinkronus dan Asikronus

Contoh Pembelajaran Sinkronus

No

Kegiatan

Tujuan

Keterangan

1.

Kemah Virtual

Mengalihkan agenda kemah yang biasa dilakukan di luar masa pandemi agar tetap dirasakan oleh anak di masa pandemi.

Guru memimpin jalannya acara, megarahkan anak untuk bersama-sama mengikutikegiatan,mulai dari pembukaan, membangun tenda, aneka lomba, dan kegiatan sejenis, dengan menggunakan platform interkatif seperti zoom meeting.

2.

Senam Bersama

Tetap mengakomodasi kebutuhan siswa untuk bergerak dan berolahraga.

Guru meminta anak menyiapkan perlengkapan sebagaimana mestinya untuk kebutuhan olah raga, lalu guru memimpin kegiatan senam dengan menggunakan platform zoom meeting.

3.

Bermain Sosiodrama

Tetap memfasilitasi anak untuk mengekspresikan perasaan dalamforum sosial.

Setiap anak diberi bagian untuk memperagakan peran tertentu, di mana keseluruhan cerita dipimpin langsung oleh guru, sehingga cerita yang disimak secara bersama tersebut, diikuti pula dengan partisipasi anak sebagai pemain peran.

Contoh Pembelajaran Asinkronus

No

Kegiatan

Tujuan

Keterangan

1.

Penugasan

Mengupayakan anak untuk tetap bergerak aktif.

Anak diberi sebuah petunjuk kegiatan untuk melakukan gerakan tertentu seperti senam lantai dan ataun sejenisnya, untuk kemudian dilaporkan buktinya dalambentuk foto kegiatan.

2.

Pelibatan proyek

Melibatkan anak dalam proses sebuah pembuatan produk yang bisa dimanfaatkan untuk kebeutuhan bermain mereka.

Anak diberi tutorial membuat salah satu mainan tradisional seperti kincir angin, alat musik dan lain-lain, untuk selanjutnya dapat mereka gunakan/praktikkan dalam aktivitas di area sekitar rumahnya.

3.

Kemandirian

Melibatkan anak dalam kegiatan domestik orang tua sekaligus memberi ruang untuk mereka bergerak dan bermain.

Anak diminta untuk membantu tugas kerumahtanggaan seperti menjemur dan mengangkat pakaian, mencuci piring, dan lain-lain, lalu hasilnya dibuktikan dalam sebuah dokemnetasi foto atau video.

Penyediaan Modul dan Jurnal

Selain pembelajaran sinkronus dan asinkronus yang disiapkan sedemikian rupa, guru juga bisa menyiapkan semacam modul dan jurnal sederhana terkait aktivitas bermain yang bisa dilakukan secara praktis oleh orang tua di rumah. Modul dan jurnal praktis ini bertujuan sebagai navigasi agar orang tua memiliki gambaran dalam setiap harinya tentang aktivitas apa saja yang bisa dioptimalkan untuk mengawal anak di rumah. Untuk modul, bisa berupa contoh rangkaian aktivitas seperti yang dijelaskan oleh Oberlander (2002) yang terdiri dari:

  • Latihan berpakaian sendiri
  • Menghitung jumlah aktivitas naik turun tangga
  • Bermain terowongan dari dus
  • Bermain boling
  • Video call untuk bertanya kabar terhadap teman
  • Dan lain-lain

Adapun dijelaskan oleh Yoga (2018) terkait modul apa saja yang bisa disiapkan oleh guru untuk dioptimalkan oleh orang tua di rumah.

  • Jurnal kegiatan membaca (Raeding Log)
  • Jurnal Catatan Kegiatan Harian
  • Dan lain-lain

Pemanfaatan Sarana yang Ada di Rumah

Yoga (2018) menawarkan sebuah alternatif pembelajaran anak di rumah agar dapat mengakomodasi kebutuhan bermain anak. Salah satunya adalah dengan pemanfaatan ruang dan sarana di rumah sebagai sarana belajar anak, mulai darikamar mandi atau perabot rumah tangga yang memungkinkan untuk digunakan anak saat belajar. Adapun beberapa conoh konkretnya adalah:

  • Melibatkan anak dalam kegiatan mengadon
  • Mempersilakan anak berekplorasi dengan alat-alat dapur yang kondusif untuk digunakan, seperti benda-benda berbahan plastik.
  • Pemanfaatan potongan kayu dari tempat bubut dan penggergajian, yang bisa anak manfaatkan untuk bermain ekplorasi.
  • Pemanfaatan kain perca untuk membuat boneka kain dengan formulasi warna sesuka hati.
  • Dan lain-lain

Pemanfaatan sarana yang ada di rumah juga bagian dari pemenuhan kebutuhan tahapan eksperimen anak usia dini. Artinya, anak diberi ruang untuk mencoba menyusun benda-benda yang ada di dapur seperti menyusun baskom dari ukuran terkecil ke terbesar, memindahkan air dari tumbler A ke tumbler B dan seterusnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Montolalu, dkk dalam Pratiwi (2017) bahwa pada tahap eksperimen (usia 4-5 tahun), anak pada umumnya mulai melakukan percobaan-percobaan dan perhatian mulai tertuju pada kegiatan bentuk tertentu dan ukuran, menyamakan bentuk dan ukuran serta memilih bentuk-bentuk tertentu yang akan digunakan.

 

Penutup

Demikian analisis ini saya tuangkan. Semoga menjadi salah satu pencerah dalam dunia Pendidikan Anak Usia Dini. Semoga pula, menjadi satu simbol optimistis bahwa sebagai pelaku pendidikan, kita tetap dapat melahirkan gagasan-gagasan yang produktif dan solutif untuk tertunainya hak bermain anak. Mengapa? Karena lagi-lagi, bermain adalah sesuatu yang mendasar, sebagaimana ditegaskan oleh Gleave dan Hamilton (2012) bahwa bermain adalah hak asasi manusia yang fundamental bagi semua anak, tanpa memandang usia, jenis kelamin, budaya, sosial kelas atau kecacatan.

 

Daftar Pustaka

Buku:

Hainstock. E. G. (2002). Montessori untuk Prasekolah. Panduan sistematis, praktisdanefektif mudah dipelahjari untuk mendidik anak. Jakarta: Delapratasa Publishing.

Hurlock. E. B. (1980). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.  Jakarta: Erlangga.

Oberlander. J.R. (2000). Slow and Steady Get Me Ready: Buku Pedoman Pengembagan Anak Usia Dini.  Jakarta: Primamedia Pustaka.

Utama, A.M.B. (2020). Teori Bermain.  Yogyakarta: Penerbit Pohon Cahaya.

Yoga. M. (2018). Saatnya Membkali Anak dengan Kecakapan Hidup.  Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Jurnal:

Amadea. K dan Ayuningtyas. M.D. (2020). Perbandingan Efektivitas Pembelajaran Sinkronus dan Asinkronus pada Mater Program Linear. Jurnal Primatika.  Vol. 9 No. 2, Desemberi 2020, halaman 111-120.

Baumer. S. (2013). Play Pedagogy and Playworlds. Encyclopedia on Early Childhood Development.  USA: University of California at San Diego, Juni 2013.

Ginsburgh, K.R. (2007). The Importance of Play in Promoting Healthy Child Development and Maintaining Strong Parent-Child Bonds. American Academy of Pedriatic, 21 Februari 2021, halaman 182-191.

Gleave, J & Hamilto, I.C. (2012). A world without play: A literature review. Unite Kingdom: www.playengland.org.uk, Revised January 2012.

Gleave, J & Hamilto, I.C. (2012). A world without play: A literature review. Unite Kingdom: www.playengland.org.uk, Revised January 2012.

Harris. P, at all. (2011). Child's Play: Computer Games, Theories of Play and Children's Development.  Faculty of Education, University of Wollongong, Maret 2011, halaman 99-106.

Megawati. P. (2012). Meretas Permasalahan Pendidikan di Indonesia.  Jurnal Formatif Vol.2 No.3, halaman 227-234.

Pratiwi, dkk. (2018). Pengaruh Permainan Konstruktif terhadap Perkembangan Sosial Anak pada Kelompok B Gugus VI Kecamatan Buleleng. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Vol. 6 No.3 Tahun 2018 halaman 333-343.

Pratiwi, W. (2017). Konsep Bermain pada Anak Usia Dini. Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Vol. 5 No.2 Tahun 2017 halaman 106-117.

Unicef. (2020). COVID-19 dan Anak-Anak di Indonesia, Agenda Tindakan untuk Mengatasi Tantangan Sosial ekonomi: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan.  Vol. 2 No. 11 Mei 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun