Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Orangtua, Sebuah Proses Belajar yang Tak Pernah Sudah

18 Juli 2020   00:10 Diperbarui: 18 Juli 2020   00:06 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.familyguideindonesia.com/

Dan itulah KAWAH CANDRADIMUKA. Kawah belajar kita yang memang tanpa batas. Tanpa batas berakhirnya. Bahkan tanpa jeda.

Saat hari pertama kita menghadapi bayi merah yang Allah karuniakan, kita belajar setengah mati tentang bagaimana menggendong, menimang, menidurkan, memandikan. 

Saat anak kita beranjak dan bertambah usia, kita pun mencerna segala sikap dan kebiasaannya plus belajar tentang bagaimana menghadapinya. Pun saat mereka beranjak pada masa transisi dari anak-anak ke remaja atau dari remaja ke dewasa. Semua proses kita lampaui, tanpa mengenyampingkan "proses belajar".

Artinya, disadari atau tidak, dengan menyengaja atau tidak, hakikat kita menghadapi anak adalah proses belajar.

Maka apalah lagi pada hari ini, di zaman ini, paradigma pendidikan anak dibuka dan diantarkan sebanyak-banyaknya melalui buku-buku pengasuhan dan keluarga, atau melalui ruang-ruang seminar, baik di ruang maya maupun nyata. Dan pada hari ini, berfastabiqul khairat untuk menjadi orang tua terbaik pun, bisa kita rasakan atmosfernya.

Mahasuci Allah. DI depan mata, teronggok tugas tak sederhana. Mendidik anak. Tugas yang tak bisa dengan mudahnya kita mencibir atau meanggap kecil terhadap pola pengasuhan yang dilakukan oleh orang-orang di sekeliling kita. Dan kita tak bisa pula mendeklarasi bahwa pola pengasuhan yang kita lakukanlah yang paling benar.

Apapun pola yang kita miliki, apapun teknik yang kita kuasai, sandaran kita hanya satu. Allah SWT. Bahkan sebanyak apapun teori  di mana kita cakap memahaminya. Tetap hanya Allah satu-satunya. Tempat kita menitipkan iman islamnya generasi kita.

Karena memang kita hanyalah prajurit. Kita hanya pelaksana di mana kewajibannya adalah belajar. Belajar berusaha untuk baik dan benar. Baik dan benar dari sisi niat (visi dan misi). Juga baik dan benar dari sisi cara (eksekusi, breakdown, teknik, dan lain-lain).

Jika harus jujur, saya pun sebetulnya sembari beristighfar setiap kali saya "berbicara" pengasuhan, baik di panggung seminar maupun lewat tulisan di beranda sosmed. Karena saya sadar bahwa diri ini pun belum tentu benar.

Namun saya masih bersyukur dengan dasar hati yang insyaAllah senantiasa menggumamkan JARIYAH. Bahwa dengan berbagi kebaikan kepada orang lain, insyaAllah menjadi ladang pahala untuk saya pribadi maupun untuk keluarga, bahkan untuk orang-orang yang ada di ruang aktivitas saya.

Dan kembali bersyukur. Saat sekian orang di setiap kali saya memberi energi pengasuhan, selalu ada sekian peserta yang dengan "bapernya" berucap terima kasih atau menyatakan "penyesalan diri" atas kesalahan yang telah lalu dalam menghadapi/menyikapi anak-anak. Bagi saya, itulah sugesti positif yang membangunkan jiwa ini untuk tetap terjaga dalam memberikan teladan terbaik bagi anak-anak. Semampu yang diri ini bisa lakukan. Sekuat apa yang diri ini mampu contohkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun