Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Akankah Masih Harus Menyalahkan Corona?

1 Juni 2020   23:33 Diperbarui: 13 Agustus 2020   19:53 1995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: shutterstock

Artinya, setiap kita, setiap perjalanan rumah tangga kita, relatif mengalami titik rendah semacam saat-saat TERNELANGSA, saat-saat dijerat masalah dalam waktu yang bersamaan, saat-saat di mana kita benar-benar tidak memegang uang sepeser pun.

Lalu, hari ini, kita berada alam kondisi kekurangan, misalnya. Untuk sekadar tetap bersyukur dengan apa yang ada, kenapa tidak mengingati saat-saat kita terpuruk dan kita berhasil melewatinya. Karena Allah SWT tak menjadikan Corona sebagai satu-satunya pusat nadirnya kehidupan.

Contoh Kedua

Dampak virus Corona dalam kaitannya dengan mudik Lebaran. Sebagian kita menyikapi ritual mudik sebagai sesuatu yang --bisa jadi- sakral. Wajib adanya. 

Dan memang tak salah. Sebuah konteks silaturahim yang sejatinya dilestarikan. Bahkan sangat manusiawi, setiap kita merindukan suasana kampung halaman dengan segala perniknya. Masing-masing punya kesan yang dalam.

Namun tanpa sadar, budaya mudik telah melahirkan perubahan pola pemahaman bagi sebagian atau banyak orang. Bahkan banyak hal tersier "ngaclok" (baca: meloncat) menjadi primer. 

Contoh di lapangan, ada sekian orang yang begitu sibuknya mengoleksi "pernik mudik" untuk ajang "pamer" di kampung halaman kelak. Dari mulai pakaian ingin "ter-wah" sampai armada yang terpaksa harus ada, bahkan hingga pernik khusus untuk kelak eksis dan narsis di acara reuni.

Bahkan dari obrolan sepuluh tahun lalu dengan salah seorang pengelola took mas. Konon, sebelum lebaran, ibu-ibu ramai-ramai memilih dan membeli mas sesuka hati. Namun tiba kembali datang ke kota (pasca Lebaran), mereka ramai-ramai pula menjualnya kembali. Inilah "syahwat" yang tanpa terasa menjadi agenda  tahunan para pemudik.

Kembali pada tafakur Corona, dengan dilarangnya mudik di tahun ini, menjadi sebuah perenungan ekstrem bahwa ternyata "bisa kok kita tanpa mudik". Bahwa tak mudiknya kita hari ini, menjadi sebuah latihan perpisahan. Atau menjadi takaran perasaan bagi orang-orang yang lama merantu dengan kondisi sangat tak mudah untuk pulang.

Contoh Ketiga

Ketika hari ini kita mempermasalahkan repotnya mengurus anak-anak melewati  pembelajaran jarak jauh. Apakah hal demikian juga harus masuk poin dramatisme? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun