Mohon tunggu...
Mia Rosmayanti
Mia Rosmayanti Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Menulislah dan jangan mati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kotak Mati

13 Mei 2018   05:41 Diperbarui: 13 Mei 2018   06:15 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah ruangan pengap tertangkap seluruh indraku. Tak ada cahaya yang lebih terang dari sekerlip bintang. Yang cahayanya hanya bisa dinikmati melalui jutaan tahun cahaya, menanti mati. Cahaya yang sebenarnya hanyalah bangkai dari luasnya angkasa. Yang mungkin saja jatuh dan pecah berkeping-keping menjadi abu. Di sela-sela ruang dan waktu yang makin menyempit, merampas oksigen yang menyeruak ke dalam paru-paru. Aku berusaha sekuat mungkin menangkisnya.  Dengan darah dan tangis, aku mengalirkan sedikit luka. Mengaiskan sekelumit kisah yang mungkin saja hanya tersimpan rapat dalam kotak diri bernama 'rahasia'.

Tak ada suara yang tertanam lembut dalam serabut cahaya. Aku hanya berharap tetes air hujan pertama segera turun, memecah keheningan yang tak berujung. Lonceng berdenting senyap, teredam riuh dan sepi yang datang bersamaan. Tetap tak ada apapun yang bisa kudengar, kecuali jeritan-jeritan kecil dalam diri yang tidak juga bisa disuarakan. Karena pita suaraku sudah bukan lagi milikku. Pada hari itu aku sudah menukarnya dengan jutaan jarum sambil menuangkan harapan agar aku bisa membuatkannya selembar kain. Merajut cahaya dalam kelamnya masa lalu dan masa depan yang nyatanya tak pernah bisa saling berhubungan.

Aku mengharapkan semerbak bunga menerbangkan kelopak-kelopak beraroma kemurnian sukma. Aku mulai menata diri untuk lebih pantas memekai mahkota yang terbentuk dari senyum tulusmu. Apakah mungkin terjadi? Mungkin saja tidak. Karena kesempatan hanya datang saat aku bisa membaca suasana melalui angin-angin yang berhembus. Jadi, bagaimana aku bisa membaca suasana? Sementara tak ada satu pun dari indraku yang bisa menangkap tanda-tandanya. Bukankah semua yang terjadi hanya menghasilkan kesia-siaan belaka? Aku akan tetap duduk di tepian Senja ini hingga pagi tak lagi buta. Bukankah kau bisa mengingatnya?

Aku mulai mengikuti perputaran jam yang tak lagi berarti. Perlahan-lahan, cahaya mulai merasuk dalam tulang-tulang yang entah kapan terakhir kalinya kugunakan. Mereka meminjamkan sepasang mata sekaligus telinga. Mereka menghidupkanku sejenak, menjelang lemah dalam sebuah kuat yang sesaknya tak lagi bisa dipecah Sang Yang Kuasa. Satu dua detik berlalu, aku mulai berani menatap bayang-bayangmu. Di sana aku melihat senyummu, tapi apakah itu untukku? Aku bisa dengan jelas melihatmu mendekat, tapi apakah memang ke arahku?

Tiga empat detik mulai tak lagi berarti, tapi dari sini aku bisa mendengarmu terisak. Tunggu dulu! Apakah ada sesuatu yang menyakitimu? Apakah pecahan kaca yang kusebar mulai melukaimu? Maaf, aku masih merasa takut. Bukan padamu, tapi pada orang-orang lain yang juga mengejarmu. Aku hanya bisa menangis melihatmu kesakitan. Aku tahu rasa itu, ketika hatimu terasa penuh karena kekosongan yang berkarang dan mengendap. Jika bisa, aku ingin berlari dan memelukmu dengan bayang-bayangmu. Tapi aku memang tidak bisa menyentuhmu. Aku tahu, jika keegoisanku mulai meledak dalam dadaku, aku hanya bisa mengubahmu menjadi gelembung-gelembung yang akan segera meletup dengan satu sentuhan.

Lima enam detik merengkuh pundakku. Mengingatkanku bahwa cahaya tak lagi bisa berlama-lama menyelubungi tulang belulangku. Jika diizinkan, aku ingin memberontak. Aku hanya ingin sedikit lebih lama menatapmu. Tapi air matamu membekukanku, membuka luka-luka yang sejatinya tak pernah kunjung kering selama ini.

Baiklah. Aku akan melepas cahaya-cahaya ini. Aku akan meminta mereka mengantarmu ke dunia nyata. Lupakan semua luka yang kuberi di dunia gelap ini. Biarkan aku yang menyimpannya dalam-dalam. Namamu itu, biarkan aku yang menyimpannya sendiri dalam kesunyian. Jangan pernah datang lagi, karena sayapku tak lagi terlihat putih seperti dulu. Karena aku hanyalah abu di dalam kotak pemakaman itu. Aku bukanlah diriku. Aku hanya kenangan semu yang tak lagi pantas mengetahui segala sesuatunya tentang waktu. Tentang kamu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun