Ketangguhan Tiongkok dalam menghadapi tekanan tarif tinggi yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat sungguh dapat diacungi jempol. Bila melihat struktur ekonomi, Tiongkok yang telah berubah ke arah yang lebih mandiri dan berjalan mengerucut ke arah ekspor di pasar internasional. Peningkatan ekspor Tiongkok ke Asia Tenggara, Afrika hingga Amerika Latin sejak 2018, cukup berhasil menggeser juara bertahan penjerat ketergantungan yaitu Amerika Serikat. Situasi tersebut yang mempertebal bahwa kebijakan tarif Amerika Serikat justru melebarkan sayap Tiongkok sebagai penguasa pasar global. Atau dapat dikatakan ancaman yang awalnya datang untuk melemahkan berbalik memberikan kekuatan tersendiri.Â
Strategi Tiongkok yang bisa diacungi jempol tersebut, dimana mereka mengubah ancaman yang ada menjadi peluang melebarkan sayapnya dalam pasar perdagangan global yang tidak lagi mengandalkan kekuatan dan kehadiran Amerika Serikat dalam pasar internasional. Penerapan strategi jitu ini melalui pengambilan perjanjian perdagangan dengan perjanjian regional. Pendekatan strategi yang diterapkan juga dapat dikatakan mencerminkan visi ekonomi luar negeri Tiongkok yang fleksibel, dengan tidak hanya bergantung pada satu tumpuan saja, tetapi beragam hingga menjadi cabang. Sehingga dapat dikatakan bahwa Tiongkok tidak hanya berusaha bertahan, melainkan adanya upaya berusaha yang tinggi untuk berkembang melalui pendekatan yang makin luas dan beraneka-ragam.Â
Amerika Serikat dengan kebijakan ekonominya tersebut justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Dengan kenaikan tarif yang ditetapkan untuk Tiongkok, menyebabkan banyaknya perusahaan Amerika Serikat sendiri yang mengalami peningkatan biaya produksi serta guncangan pasar secara global. Sebagai contoh produksi ponsel merek Amerika Serikat yang lokasi produksinya di Tiongkok terkena dampaknya pula. Berdasarkan data U.S. Chamber of Commerce, kenaikan barang elektronik yaitu ponsel mengalami kenaikan harga hingga rata-rata 15% dimulai dari tarif yang dilaksanakan. Hal ini menunjukan adanya beban yang kembali ke negara pembuat kebijakan ekonomi, demi memenangkan posisi dalam panggung politik internasional yang ujungnya justru menyerang diri sendiri. Dibanding memenangkan panggung tersebut, strategi yang diluncurkan ke panggung ini justru memberi efek bumerang yang merugikan perusahaan dan konsumen.Â
Panasnya panggung Tiongkok dan Amerika Serikat berhasil memberikan dampak dan gejolak besar dalam arus investasi global, yang terutama terjadi akibat pergeseran lokasi produksi perusahaan multinasional ke negara berkembang. Perusahaan-perusahaan tersebut melakukan perpindahan dengan maksud menjaga efisiensi pasokan dan menghindari diri dari tarif tinggi akibat strategi ekonomi Amerika Serikat. Negara-negara berkembang seperti Vietnam dan India menjadi sasaran empuk target lokasi produksi, biaya yang rendah merupakan faktor yang masuk akal. Sehingga pergeseran lokasi ini, mampu menunjukan bagaimana perubahan kebijakan suatu negara dapat menciptakan gelombang global yang besar.Â
Negara berkembang harus menghadapi tantangan untuk memilih peluang atau ketergantungan ekonomi internasional. Dimana di satu sisi, mereka dapat meningkatkan koneksi dagang. Di sisi lainnya mereka harus mengorbankan kemandiriannya akibat ketergantungan pada pihak tertentu. Sehingga disini dapat terlihat dengan jelas bagaimana kedua negara berpengaruh tersebut mengontrol negara berkembang ini untuk memilih. Bila strategi yang digunakan negara berkembang tidak bijak maka ada resiko yang harus mereka ambil, baik antara pilihan pertama atau kedua yang akan memberikan dampak pada keadaan sosial, politik, dan ekonomi mereka. Kondisi inilah yang menjadikan dilema tersendiri bagi negara-negara berkembang, jika keputusan yang diambil tidak mempertimbangkan adanya kekuatan global yang menyelimuti mereka.Â
Ketimpangan pengelolaan ekonomi global makin terlihat ketika adanya akibat dari strategi tarif sepihak seperti yang dikeluarkan Amerika Serikat. Negara-negara berkekuatan besar ini cenderung melakukan pemaksaan kepentingan negara sendiri, tanpa memperdulikan dan melihat dampak dari apa yang akan muncul kepada mitra dagangnya, ketika akan mereka lakukan strategi tersebut nanti. Hal ini lah yang memperlemah kepercayaan dan rasa yakin global terhadap institusi multilateral sebagai penjaga keadilan dalam ekonomi internasional. Selain itu mencerminkan pula, krisis kepercayaan pada sistem ekonomi politik global yang dimana seharusnya adanya jaminan terhadap keadilan ekonomi semua lapisan masyarakat internasional.Â
Maka melalui kacamata ekonomi politik, kondisi ketegangan dan panasnya panggun ekonomi politik ini menunjukan bahwa kebijakan ekonomi bukan keputusan yang netral, melainkan adanya kepentingan sebuah negara dalam persaingan politik global. Kebijakan tarif Amerika Serikat menunjukan kekhawatirannya, serta bumerang terhadap perubahan dan dinamika arus ekonomi global. Sedangkan Tiongkok sendiri menunjukan bahwa dengan respons yang bijak dan strategi yang jitu, perluasan tanpa adanya paksaan atau ancaman tertentu dapat menjadi cara yang baik dalam menghadapi perubahan kebijakan suatu negara kuat. Di sisi lain situasi yang terjadi ini tidak hanya mempengaruhi kedua negara kuat, tetapi juga negara-negara berkembang yang juga berusaha menyesuaikan diri dan memilih keputusan bijak dalam menanggapi situasi ini. Dinamika yang terjadi ini menunjukan pentingnya pemahaman ekonomi politik, sebagai alat pengambil keputusan yang tepat. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI