Dalam wajah baru tata kelola keuangan negara, peran Badan Layanan Umum (BLU) makin mendapat sorotan. Di tengah keterbatasan ruang fiskal dan tuntutan pelayanan publik yang semakin kompleks, BLU hadir sebagai instrumen fleksibel yang menjembatani antara logika bisnis dan misi pelayanan negara. Namun, pertanyaan krusial muncul: apakah BLU siap menjadi pilar utama transformasi ekonomi nasional, atau justru terjebak dalam zona abu-abu antara efisiensi dan akuntabilitas?
BLU: Instrumen Hybrid yang Menjawab Keterbatasan APBN
BLU bukanlah BUMN, tapi juga bukan satker murni. Dalam kerangka UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan diperkuat melalui PP No. 23 Tahun 2005, BLU diberikan fleksibilitas untuk mengelola keuangannya sendiri di luar mekanisme klasik DIPA, asalkan tetap dalam koridor akuntabilitas publik.
Fleksibilitas ini mencakup kemampuan mengelola pendapatan, melakukan pengadaan barang/jasa, hingga membayar remunerasi berbasis kinerja---tanpa harus tergantung pada alokasi APBN. Dengan skema tersebut, BLU mampu menyediakan layanan publik yang lebih responsif, efisien, dan berorientasi pada pengguna (citizen-centered).
Saat ini, lebih dari 250 BLU telah terbentuk di berbagai sektor: kesehatan (RSUP, BPJS Kesehatan), pendidikan (PTN-BLU), pertanian, bahkan riset dan inkubasi UMKM. Dalam konteks fiskal yang makin ketat dan kebutuhan layanan publik yang terus meningkat, BLU menjadi katalis penting bagi value for money dalam belanja negara.
Mendorong Inovasi Layanan: Dari Universitas ke Rumah Sakit
Contoh paling konkret dari peran strategis BLU dapat dilihat dalam transformasi Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU). Dengan status BLU, kampus-kampus seperti UI, UGM, IPB, hingga PKN STAN sendiri memiliki ruang untuk melakukan pengelolaan keuangan secara lebih dinamis: dari penyelenggaraan pelatihan profesional hingga kerja sama riset internasional.
Hal serupa terjadi di sektor kesehatan. Rumah sakit milik pemerintah yang berstatus BLU dapat merespons kebutuhan pasien secara cepat, misalnya dalam pengadaan obat, investasi alat medis, hingga peningkatan kualitas layanan. Ini semua tidak mungkin dilakukan jika mereka tunduk pada mekanisme anggaran rigid ala satker konvensional.
Artinya, BLU bukan sekadar status administratif, tapi alat reformasi struktural yang memungkinkan entitas publik bergerak dengan kecepatan dan efisiensi yang dibutuhkan zaman.
Risiko dan Tantangan: Akuntabilitas di Era Otonomi Keuangan
Namun, fleksibilitas yang diberikan kepada BLU juga menyimpan potensi risiko. Pertama, pengawasan internal dan eksternal yang belum seragam menyebabkan celah tata kelola. Tidak sedikit temuan BPK yang menunjukkan adanya ketidaktepatan penggunaan dana BLU, konflik kepentingan dalam pengadaan, hingga lemahnya pengukuran kinerja berbasis output dan outcome.
Kedua, ketimpangan kapasitas antar-BLU menjadi isu serius. BLU di kementerian besar seperti Kemenkes dan Kemendikbudristek mungkin memiliki SDM dan sistem yang mapan, tapi BLU kecil di daerah atau sektor teknis sering kali tidak memiliki dukungan kelembagaan yang cukup.
Ketiga, desentralisasi keuangan di BLU harus tetap selaras dengan prinsip good public financial governance. Kemandirian tidak boleh berarti lepas dari akuntabilitas. Justru, dalam konteks transformasi digital dan transparansi anggaran, BLU dituntut menjadi contoh bagaimana keuangan publik dapat dikelola secara agile namun tetap bertanggung jawab.
Masa Depan BLU: Pusat Eksperimen Kebijakan dan Inovasi Publik
Ke depan, BLU diproyeksikan menjadi "laboratorium kebijakan fiskal" di berbagai sektor. Pemerintah mulai mendorong inovasi pendanaan melalui BLU berbasis kontrak kinerja, revolving fund, hingga skema kerja sama Public Private Partnership (PPP) yang melibatkan swasta dalam pembiayaan layanan publik.
Tidak hanya itu, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025--2029 yang tengah disusun, BLU diposisikan sebagai ujung tombak penyelenggaraan layanan di sektor-sektor yang membutuhkan impact investing dan model keuangan berkelanjutan, seperti pengelolaan air bersih, pendidikan vokasi, riset energi hijau, dan dukungan terhadap UMKM ekspor.
Bahkan, wacana penggabungan BLU dengan platform digital keuangan negara (seperti SAKTI, SPAN, dan Digipay) tengah dikembangkan agar pengelolaan BLU semakin terintegrasi dengan sistem fiskal nasional.
BLU sebagai Representasi Profesionalisme Aparatur Keuangan Publik
Sebagai mahasiswa PKN STAN, memahami dan mengawal perkembangan BLU bukan sekadar aspek akademik, tapi bagian dari kesiapan kita sebagai generasi penerus pengelola keuangan negara. Dalam BLU, kita melihat cerminan ideal bagaimana kebijakan publik bisa menjembatani efisiensi fiskal dan kualitas layanan---dengan tetap menjunjung prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Transformasi keuangan negara tidak terjadi di atas meja saja, tetapi juga melalui entitas seperti BLU yang berada di garis depan pelayanan masyarakat. Jika dikelola dengan baik, BLU bisa menjadi wajah baru birokrasi yang lincah, kompeten, dan berdampak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI