Selain itu, isu etnisitas(kesukuan) juga kerap menjadi faktor penting dalam meraih kesuksesan dalamsebuah kontestasi politik. Dalam sebuah proses sebelum memasuki kontestasipolitik, isu etnisitas merupakan komponen yang perlu dipertimbangkan dandirumuskan secara matang. Komponen Jawa, luar Jawa, Betawi, Sunda dan lainnyakerap menjadi pertimbangan dalam mengusung pemimpin nasional. Bahkan, hal initerjadi juga dalam demokrasi di DKI Jakarta. Kenapa ini penting, karena sistemdemokrasi terbuka menganut pendekatan kuantitatif. Siapa yang mempunyaipendukung dan pemilih yang paling banyak niscaya ia akan memenangkankontestasi. Dengan demikian, menggunakan sudut pandang etnisitas dalamkontestasi politik adalah hal yang lumrah dan bukanlah sesuatu yang aneh.
 Ada pula kelompok masyarakatyang terlalu sederhana dalam menyikapi kontestasi politik. Sebagai contoh, adatiga orang ibu-ibu di wilayah padat penduduk, di sebuah gang sempit ditanyatentang calon gubernur DKI Jakarta. Ibu pertama mengatakan, "saya memilihnomor 1 karena orangnya muda dan ganteng". Ibu kedua menjawab, "Sayamemilih nomor 2 karena kulitnya putih dan bersih". Ibu ketiga jugamenjawab, "Saya pilih nomor 3 karena hidungnya mancung mirip orangArab".Â
 Dalam perhelatan Pilkada DKIJakarta yang menjadi sorotan nasional bahkan internasional sekarang ini, apakahsalah ketika memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur berdasarkanpreferensi agama, leadership, etnisitas dan isu primordialisme lainnya?Tentunya tidak salah selama tidak melakukan pemaksaan terhadap orang lain. Jadisesungguhnya, isu SARA (suku, agama dan ras) tidak bisa terpisahkan dalamsetiap kontestasi politik terbuka. Hanya saja, isu SARA tidak boleh nenjadibahan kampanye dan menjadi alat pemaksaan bagi orang atau kelompok lain. Pemakasaaninilah yang sesungguhnya melanggar konstitusi.
Â
 Bagaimana Seharusnya?
 Semestinya tidak perlu terjadigesekan keras di tengah masyarakat kita ketika memahami teori ‘perspektif’ ini.Namun pada kenyataanya, hanya sedikit orang yang bisa menggunakan pandanganyang komprehensif dalam memilih. Kalaupun dia berusaha mengguanakanperspektif yang luas, ujung-ujungnya akan mengerucut pada salah satu‘perspektif’ seperti yang dijelaskan di atas. Dengan begitu, tidak ada alasanuntuk tidak menghargai pilihan orang lain, karena sudut pandanglah yangmenggiring orang untuk memilih, sedangkan sudut pandang tersebutke-berbedaan-nya  bersifat niscaya.Â
 Sebagai pemilih yang baik,perspektifnya harus luas sehingga tidak picik memandang perpedaan dan tidakterlalu sederhana menilai calon pemimpin. Sedangkan bagi seoarang calonpemimpin yang ingin masuk dalam kontestasi politik, hendaknya terlebih dahulumembangun kualitas dirinya. Ketika pemimpin itu agamanya bagus, leadershipnyakuat, track record-nya jujur dan bersih, etika dan komunikasinya santunmaka dilihat dari segala ‘perspektif’ manapun dia nampak menarik.Â
 Ketika mayoritas pemilih‘perspektif’nya luas dan calon pemimpinnya menarik dalam semua ‘perspektif’,maka kontestasi politik itu menjadi sangat menyenangkan dan benar-benar menjadipesta demokrasi, bukan bencana demokrasi.Â
Â
Penulis:
 Dosen Filsafat dan Agama ProgramPascasarjana PTIQ Jakarta.