Mohon tunggu...
Mhalik Parilele
Mhalik Parilele Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sivil Society

Memiliki hobi menulis apa saja, kecuali skripsi. Tulisan bisa saja dari apa yang di lihat, dengar, rasakan kemudian terpikirkan dan tertulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pemilu dan Pacaran Itu Berbeda, Gunakan Akal Sehatmu

9 Oktober 2017   15:11 Diperbarui: 9 Oktober 2017   18:21 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Cuma sekedar janji, tidak ada bukti". Kalimat ini tentu sangat sering kamu dengar. Bahkan biasanya kamu ucapkan. Tapi, saya tidak sementara membahas soal keretakan sebuah hubungan pacaran. Lalu apa? Saya kira kamu sudah bisa menebaknya. Betul. Ini soal orang-orang yang menyandang gelar politikus.

Ada banyak teori para ahli ilmu sosial politik dalam menerjemahkan pengertian politik. Tapi, Secara sederhana, saya memahami politik merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan. Tentunya ada proses yang terjadi dalam upaya tersebut, Proses dalam mencapai upaya itulah yang kemudian melibatkan unsur politik.

Semisal, ketika kamu hendak berpergian menggunakan kendaraan. Ada dua kendaraan yang tersedia yaitu sepeda dan motor. Jika tujuan kamu berpergian untuk sekedar berolahraga, tentunya kamu memilih sepeda. Sebaliknya, jika tujuan kamu berpergian untuk mencapai tujuan dengan cepat, maka pasti kamu akan memilih motor. Nah, upaya memilih berdasarkan kebutuhan dan keinginan (tujuan) itulah yang secara tidak langsung kamu sementara melakukan praktek politik.

Sehingga bicara soal politik, kehidupan sehari-hari manusia, disadari atau tidak, sebenarnya telah menyertakan berbagai unsur politik.

Seiring berkembagnya ilmu pengetahuan. Politik tidak luput dari pengkajian dan terus mengalami kemajuan teori dan praktek. Sehingga, yang paling akrab ditelinga masyarakat saat ini, ada yang disebut politik praktis dengan wadahnya melalui partai politik.

Kehadiran partai politik diharapkan dapat menampung berbagai masalah serta mampu menemukan sebuah solusi dalam masyarakat. Melalui semangat perwakilan. Artinya, masyarakat memberikan kepercayaan terhadap beberapa orang yang dianggap memiliki kemampuan lebih untuk membawa ke arah yang lebih baik. Di legitimasi melalui partai, kemudian di lembagakan dengan sebutan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Tetapi, tak jarang kamu dapati, semangat perwakilan ternyata tidak sepenuhnya benar-benar mewakili masyarakat. Beragam persoalan di nilai tidak dapat disandarkan dan diselesaikan oleh beberapa orang saja. Akhirnya, banyak masyarakat yang merasakan kekecewaan kepada seorang wakil yang telah dipilihnya. Maka, biasanya yang akan terjadi, masyarakat akan merubah pilihannya pada saat kesempatan berikutnya.

Sehingga kitapun sudah ketahui bersama, saat ini banyak masyarakat yang merasakan kekecawaan atas kinerja wakilnya.

Kalau merujuk pada kata "Wakil", tentu kamu juga bersepakat bahwa masih ada yang lebih tinggi diatasnya. Nah, pada konteks perwakilan rakyat, maka secara otomatis rakyatlah yang menjadi pimpinannya. Hanya saja, selaku pimpinan, rakyat memiliki kekuatan untuk menentukan wakilnya, namun tidak memiliki daya apa-apa untuk kemudian memecat atau mengganti wakilnya, kecuali menunggu lima tahun sekali. Begitulah.

Kembali ke persolan politikus. Politikus, yang saya maksudkan di sini, adalah orang yang mengurusi hajat hidup orang banyak dengan bergelut dalam lembaga partai politik serta orang-orang yang memperoleh gelar pemimpin dinegara ini atas pilihan rakyat, yaitu didalamnya ada anggota DPR dan presiden, gubernur serta bupati, termasuk tingkat desa dan kelurahan (kecuali camat, penunjuka langsung oleh bupati).

Dan ketika membahas soal politikus, maka harus pula disertakan didalamnya mengenai kekecawaan rakyat. Politikus dan kekecawaan rakyat merupakan suatu hal yang berbeda namun tidak dapat dipisahkan. Keduanya selalu bersama namun tidak bersatu sepenuhnya. Seperti semboyan, bersama tidak harus sama. Keduanya menjadi dwitunggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun