Mohon tunggu...
M Hafizh Fajri
M Hafizh Fajri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Amatir

Mahasiswa di Universitas Negeri Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Langkah Filipina Berdamai dengan Bangsamoro

18 Oktober 2021   12:40 Diperbarui: 18 Oktober 2021   12:43 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ketegangan politik antara kelompok Muslim Moro dengan etnis Filipina yang mayoritas beragama Katolik beberapa tahun kebelakang, merupakan lanjutan dari rentetan konflik yang pernah terjadi sejak 29 Maret 1969. 

Pada tahun tersebut, terjadi pertempuran antara kelompok Moro dengan Pemerintahan Filipina di pulau Mindanao, Filipina Selatan, akibat dari adanya operasi terencana kelompok Moro untuk mengambil kembali daerah bagian timur Sabah, Malaysia. Pertempuran yang disebut “Jabidah” ini, menyebabkan tewasnya 60 komandan Muslim Filipina dan 28 orang Bangsamoro.

Kemudian pada tahun 1971, dibentuklah sebuah organisasi kelompok bersenjata Moro Islamic Liberation Front (MILF) oleh Nur Misuari dengan tujuan mendirikan Mindanao yang independen. 

Selain MILF, ada juga organisasi-organisasi serupa, diantaranya Moro National Liberation Front (MNLF), Moro Independent Movement (MIM), Bangsamoro Liberation Organization (BMLO), Islamic Command Council (ICC), dan kelompok Abu Sayyaf yang kemudian kelompok tersebut menjadi radikal dan ingin mendirikan negara islam di wilayah Filipina bagian Selatan.

Berbagai macam kelompok organisasi yang dibentuk mengatasnamakan Muslim Moro, semata-mata adalah untuk memisahkan wilayah Filipina bagian Selatan yang telah lama menjadi tempat tinggal bagi Muslim Moro, jauh sebelum menjadi bagian dari Pemerintah Filipina. 

Hal ini dikarenakan adanya separatisme dari Pemerintah Filipina di Manila terhadap Muslim Moro, yang menyebabkan adanya tindakan diskriminasi terhadap Muslim Moro, dibatasinya akses ekonomi, pendidikan, dan sosial-budaya, sehingga hal ini tentu saja menjadi suatu kesenjangan sosial terhadap minoritas di Filipina.


Konflik yang terus berlanjut ini, tentu saja mengakibatkan ketidakstabilan Pemerintahan Filipina. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari desakan masyarakat untuk damai, konferensi, dan mediasi dari pihak terkait dengan tujuan sebuah perjanjian damai dari kedua pihak antara pemerintah Filipina dan MILF. 

Bahkan Indonesia juga turut berperan untuk memimpin beberapa pertemuan dari tahun 1993 hingga 1996, dalam rangka penyetujuan perjanjian damai Manila Peace Agreement atau dikenal dengan The 1996 Final Peace Agreement (FPA).

Kemudian pertemuan-pertemuan lain ditahun berikutnya, yakni Pertemuan Tiga Pihak tahun 2009, yang kemudian membentuk Panel Hukum yang terdiri dari lima ahli hukum Pemerintah Filipina dan MNLF di tahun 2010. 

Dilakukannya Perundingan Panel Hukum dengan melalui beberapa pertemuan selama 11 bulan yang difasilitasi oleh KBRI Manila, ternyata berhasil mencapai perkembangan dengan kemajuan yang signifikan. 

Melalui Panel Hukum tersebut diharapkan dapat memperkuat perdamaian di wilayah Filipina Selatan. Kemudian pertemuan Ad-High Level Group (AHLG) tahun 2011 yang berakhir dengan disah-kan nya Report of the Ad-High Level Group.

Setelah banyaknya pertemuan dengan agenda perdamaian, akhirnya pemerintah melonggarkan status darurat militer di Filipina pada 23 Mei 2017, setelah status darurat militer ini ditetapkan oleh pemerintah di Filipina Selatan sejak 1970-an. 

Hal itu membuat pemerintah Filipina akhirnya memberikan otonomi khusus bagi wilayah Mindanao untuk menerapkan syariat islam. Akan tetapi, status darurat militer pada kenyataannya masih terus diperpanjang hingga akhir 2019.

Berdasarkan pemaparan tadi, perkembangan konflik yang terjadi di Filipina Selatan sepanjang dari tahun 2011 hingga sekarang ini, terlihat bahwa konflik yang terjadi sekarang adalah hampir sepenuhnya merupakan pengaruh dari pihak  lain  yang  memiliki ideologi radikal, dengan mengatasnamakan Muslim Moro yang pada kenyataannya sudah berdamai dengan Pemerintah Filipina. 

Sebut saja kelompok ISIS dan Abu Sayyaf yang menjadi wadah bagi para pemberontak di wilayah Filipina Selatan untuk mendapatkan  kekuatan  deterence  yang  mampu  membuat  mereka  bertahan  dari  serangan pemerintah Filipina, dimana mereka terus menebar teror di Filipina Selatan dalam 10 tahun terakhir ini.

Sumber:

  • Alunaza, Hardi. Anggara, Dewa. 2018. “Peran Indonesia dalam Upaya Penyelesaian Konflik antara Pemerintah  Filipina  dan  Moro  Nationalism  Liberation Front (MNLF)”. Indonesia Perspective, vol. 3, no. 1, 52-64
  • Southern Region Of The Philippines: Issues, Challenges, And Solutions “Journal of Nusantara Studies 2017, Vol 2 (2) 66-78 Universiti Sultan Zainal Abidin
  • Jerry Indrawan, Raden Mas. “Resolusi Konflik Bagi Etnis Moro di Filipina”. Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Paramadina.
  • Chaidar Al dkk, Mindanao, Konflik dan Terorisme: Kajian Pendahuluan atas Ketegangan di Filipina Selatan , SIASAT Journal of Social, Cultural and Political Studies, 4 (1) , 1-12, 2019
  • Firmanzah, Dinamika Gerakan Pembebasan Muslim Moro di Filipina Selatan: Studi Terhadap Depan Pembebasan Nasional Moro (1971-1996), jurnal Intelektualita: Vol 06, No 01, 2017, Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun