Mohon tunggu...
Mega Lazifa
Mega Lazifa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Receh.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisah Haru Gadis Pengidap Bipolar: Saya Tidak Gila! Saya Sadar Diri, Maka dari Itu Saya Datangi yang Ahli

11 Agustus 2022   23:21 Diperbarui: 11 Agustus 2022   23:24 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya Tidak Gila

Saya melangkah maju tanpa ada tangan yang dapat digenggam, sepanjang koridor  rumah sakit beberapa pasang mata seakan melayangkan tatapan mengintimidasi sesaat setelah saya keluar dari ruang poli kesehatan jiwa. Mungkin yang terbesit di pikiran mereka adalah sebuah kemalangan, wanita muda yang sakit jiwa, datang memeriksakan kondisinya seorang diri. Tak jarang orang-orang terdekat menyebut saya 'gila' sungguh pengetahuan yang pas-pasan, saya sebut demikian. Saya sadar diri, maka dari itu saya datang ke yang ahli. Bermula Desember tahun lalu, tepat di mana saya berada dalam fase depresi. Merasa dunia saat itu sangat kacau, tiga hari sebelum saya memberanikan diri untuk menemui ahli psikis ... emosi rasanya tak bisa lagi dikontrol, menangis sejadi-jadinya 'tantrum' bahkan saya merasa kelelahan untuk melakukan kegiatan seperti biasanya. Saya tidak gila, saya hanya perlu sedikit berdamai dengan dunia. Nyatanya saya tidak mampu, saya tidak bisa. 

Saya Tumbuh dari Kehancuran

Tiga hari sebelum saya datangi psikiatri, yang saya rasa  hanya sesak menguasai seisi dada, bulir bening memenuhi mata,   bayang-bayang iblis itu menghantui malam-malam suram. Siapa iblisnya? Dia, seseorang yang menghancurkan saya ... mematikan bahagia di masa kecil saya. Tepat saat usia saya beranjak lima tahun, anak-anak sebaya mungkin sedang asyik-asyiknya bermain, menikmati kasih sayang yang berlimpah ruah dari kedua orang tuanya. Saya juga begitu, tapi tidak dengan apa yang ada di dalam isi kepala. Iblis itu selalu mendatangi saya di setiap malam. Saya redamkan, alih-alih ingin melupakan semua kejadian menyakitkan itu ternyata hanya bertahan selama lima belas tahun saja. Beranjak di usia dua puluh tahun, yang terjadi adalah sebuah ledakan di bendungan yang rasanya tak bisa lagi ditanggul. Semua tak tertahankan, semua mengalir deras tanpa kendali.  Saya tidak bisa menjabarkan seberapa menakutkan hidup sebagai penderita PSTD (Post-traumatic stress disorder). Beranjak remaja, saya pikir dunia akan lebih bersahabat ... nyatanya tidak. Di sebuah instansi pendidikan agama yang mana harap kedua orang tua, saya akan tumbuh menjadi manusia yang berperilaku baik dan mungkin mereka membayangkan sebuah kebahagiaan ada di sana. Ternyata nihil, saya menjadi salah satu korban bullying, sakit sekali jika harus dijabarkan satu demi satu untuk dituliskan di sini. Tetapi, satu hal yang masih saya ingat jelas adalah ketika pakaian-pakaian saya dibakar dengan sengaja, apa yang bisa saya lakukan? Hanya menangis, bercerita pun kepada siapa? Saya mengalami culture shock, perpindahan kota membuat saya harus berinteraksi dengan hal-hal baru, manusia baru dengan tingkah laku yang jauh berbeda tentunya. 

Sadar Diri

Saya menyebut ini adalah sebuah keterlambatan, pengetahuan orang tua yang pas-pasan tentang kesehatan mental membuat saya harus menunggu menjadi manusia dewasa sebelum akhirnya menyadari bahwa saya itu berbeda. Dulu saya ingat betul saat kelas dua Sekolah Menengah Pertama, sederhananya saja. Saya bertengkar kecil dengan saudara saya, saat itu emosi dalam diri ini sangat tidak bisa dikontrol. Saya menangis, meraung hingga dada dan sekujur tubuh ikut merasakan sakit yang luar biasa. Dengungan keras di kepala saya tidak ada yang bisa mendengar. Bahkan, orang tua saya berujar bahwa tingkah saya seperti orang kesurupan ... mereka tidak menyadari, saya pun tak sadar diri. Setelah dari psikiatri, saya didiagnosis mengidap bipolar ternyata sudah sejak saya remaja. Namun, tak ada yang menyadari. Desember tahun lalu menjadi hari-hari terberat yang saya jalani, bergantung pada obat yang rasanya enggan lagi saya tenggak. Tenang, itu yang bisa saya rasakan sebagai pasien yang mengkonsumsi obat golongan 4. Namun, tak hanya tenang saja yang saya bisa rasakan, otot-otot rasanya melemah, jantung berdegub tak sesuai iramanya. Lelah, hanya itu yang bisa saya ucap.

Saya Bangga pada Diri Ini

Bisikan untuk lompat dari gedung tinggi, pisau yang menarik untuk dibelaikan ke pergelangan tangan dan hal-hal gila yang berujung pada kata mati. Saya bangga pada diri ini karena sudah mau bertahan hidup, tidak  mudah bagi saya untuk bisa berdiri di hari ini hari kemarin, berharap hari esok saya masih kuat. Saya tidak menyimpan dendam pada orang yang bahkan telah menghancurkan hidup saya, ikhlas memang tidak mudah untuk dilakukan. Tetapi, selama ayah dan ibu saya masih bersedia memeluk saya, menggandeng, membersamai saya, saya rasa bertahan hidup adalah sebuah pilihan. 

Mungkin, cerita saya akan dilanjutkan di laman artikel berikutnya. Terima kasih.

****

Semoga Tuhan anugerahkan kita keikhlasan yang luar biasa, rasakan jika ada yang berbeda dalam jiwa kita, sebelum semua terlambat. Menjaga tubuh agar tetap sehat itu penting, tetapi jangan abai pada kesehatan mental. Ia tak terlihat, tetapi justru jauh sangat mengerikan. 

Baca pesona cintaku di laman sosial mediaku yuk! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun