Mohon tunggu...
Miftah Arif
Miftah Arif Mohon Tunggu... MAHASISWA

Saya adalah mahasiswa UNIVERSITAS PAMULANG dari fakultas Ilmu komputer prodi Sistem Informasi

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Saat Ragam Bahasa Sering DiSalahpahami

27 Juni 2025   15:01 Diperbarui: 27 Juni 2025   15:01 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 sumber Gambar (Sumber: search google))

Di tengah keberagaman budaya Indonesia, bahasa seharusnya menjadi alat pemersatu. Namun, ironisnya, ragam bahasa justru sering menjadi sumber salah paham. Kita kerap lupa bahwa bahasa memiliki banyak lapisan: ada yang baku, ada yang tidak; ada yang formal, ada yang santai; ada pula yang sangat dipengaruhi oleh konteks daerah dan sosial. Sayangnya, tidak semua orang memahami perbedaan ini, bahkan menganggap satu bentuk lebih "unggul" dari yang lain.

Bahasa Baku Bukan Satu-satunya yang Benar

Selama ini, pendidikan bahasa Indonesia di sekolah cenderung menekankan pada bentuk baku. Tidak salah, memang, karena bahasa baku diperlukan dalam konteks formal seperti penulisan ilmiah, surat resmi, atau komunikasi administratif. Namun, jika hanya bentuk baku yang dianggap "benar", maka kita sedang mengerdilkan fungsi dan kekayaan bahasa itu sendiri.

Coba perhatikan percakapan sehari-hari di antara anak muda, para pedagang di pasar, atau warga dari berbagai daerah. Mereka menggunakan bahasa yang tidak baku, tetapi pesan tetap tersampaikan, hubungan tetap terjalin, dan komunikasi tetap hidup. Bukankah itu inti dari bahasa?

Ragam Bahasa Mewakili Identitas dan Konteks Sosial

Ragam bahasa tak lepas dari konteks. Bahasa gaul yang digunakan remaja di Jakarta tentu berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh orang tua di desa. Logat, pilihan kata, hingga struktur kalimat mencerminkan identitas sosial, budaya, dan bahkan usia penuturnya.

Namun sering kali, seseorang dianggap kurang sopan hanya karena memakai bahasa daerah atau ragam santai dalam situasi tertentu. Padahal, mungkin mereka tidak bermaksud demikian. Di sinilah letak pentingnya literasi kebahasaan---memahami bahwa cara orang berbicara bisa sangat dipengaruhi oleh latar belakangnya.

Kesalahpahaman yang Terus Terulang

Salah satu bentuk kesalahpahaman yang sering muncul adalah saat orang dari luar daerah datang ke kota besar dan dianggap "kurang paham bahasa" karena gaya bicaranya berbeda. Atau sebaliknya, anak muda yang terbiasa dengan bahasa digital---singkatan, emotikon, atau bahasa campur-campur---dianggap tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Padahal, yang terjadi bukan kesalahan, melainkan perbedaan. Dan perbedaan bukan untuk disalahkan, tapi dipahami.

Belajar Bersikap Adaptif dan Inklusif

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun