Di tengah keberagaman budaya Indonesia, bahasa seharusnya menjadi alat pemersatu. Namun, ironisnya, ragam bahasa justru sering menjadi sumber salah paham. Kita kerap lupa bahwa bahasa memiliki banyak lapisan: ada yang baku, ada yang tidak; ada yang formal, ada yang santai; ada pula yang sangat dipengaruhi oleh konteks daerah dan sosial. Sayangnya, tidak semua orang memahami perbedaan ini, bahkan menganggap satu bentuk lebih "unggul" dari yang lain.
Bahasa Baku Bukan Satu-satunya yang Benar
Selama ini, pendidikan bahasa Indonesia di sekolah cenderung menekankan pada bentuk baku. Tidak salah, memang, karena bahasa baku diperlukan dalam konteks formal seperti penulisan ilmiah, surat resmi, atau komunikasi administratif. Namun, jika hanya bentuk baku yang dianggap "benar", maka kita sedang mengerdilkan fungsi dan kekayaan bahasa itu sendiri.
Coba perhatikan percakapan sehari-hari di antara anak muda, para pedagang di pasar, atau warga dari berbagai daerah. Mereka menggunakan bahasa yang tidak baku, tetapi pesan tetap tersampaikan, hubungan tetap terjalin, dan komunikasi tetap hidup. Bukankah itu inti dari bahasa?
Ragam Bahasa Mewakili Identitas dan Konteks Sosial
Ragam bahasa tak lepas dari konteks. Bahasa gaul yang digunakan remaja di Jakarta tentu berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh orang tua di desa. Logat, pilihan kata, hingga struktur kalimat mencerminkan identitas sosial, budaya, dan bahkan usia penuturnya.
Namun sering kali, seseorang dianggap kurang sopan hanya karena memakai bahasa daerah atau ragam santai dalam situasi tertentu. Padahal, mungkin mereka tidak bermaksud demikian. Di sinilah letak pentingnya literasi kebahasaan---memahami bahwa cara orang berbicara bisa sangat dipengaruhi oleh latar belakangnya.
Kesalahpahaman yang Terus Terulang
Salah satu bentuk kesalahpahaman yang sering muncul adalah saat orang dari luar daerah datang ke kota besar dan dianggap "kurang paham bahasa" karena gaya bicaranya berbeda. Atau sebaliknya, anak muda yang terbiasa dengan bahasa digital---singkatan, emotikon, atau bahasa campur-campur---dianggap tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Padahal, yang terjadi bukan kesalahan, melainkan perbedaan. Dan perbedaan bukan untuk disalahkan, tapi dipahami.
Belajar Bersikap Adaptif dan Inklusif