"Ayo dilihat dulu supaya nggak nyesel. Siapa tahu ternyata mukanya tompelan, atau jarinya kurang satu," gurau Kyai Yunus dengan terkekeh.
Duh, entah seperti apa wajahku. Mungkin sudah mirip kepiting rebus. Kyai Yunus tak henti-hentinya menggodaku.wajah ini rasanya memanas.
"Nggih, Kyai."
Pelan, aku mengangkat wajah. Di hadapanku, Â Â duduk seseorang dengan wajah tertunduk. Jilbab biru membingkai wajahnya yang cantik. Hidungnya mancung, bertengger di atas bibir yang tipis. Kulitnya hitam manis, tapi tidak mengurangi kecantikannya. Tubuhnya tidak gendut, tidak juga kurus dengan tinggi tak lebih dari 150 centimeter.
"Ehemm ... lihatnya jangan lama-lama. Nanti malah nggak bisa tidur." Lagi-lagi ucapan  Kyai Yunus membuat wajahku memerah. Apalagi seisi ruangan tergelak mendengar ucapan Kyai Yunus.
"Kyai, apa langsung kita halalin aja nih, Â hehehe ...," cetus seseorang. Begini ini kalau ta'aruf dan nadzor mengajak teman. Bakalan jadi bahan godaan.
"Nanti dulu, biar mereka istikharah dulu. Supaya lebih mantap. Masing-masing tadi sudah tahu kelebihan dan kekurangannya. Jadi nanti, pekan depan Ahmad harus sudah punya jawabannya. Gimana?"
"Nggih, Kyai. Insyaa Allah."
Ah, entah sudah seperti apa rupa wajahku ini. Â Aku melirik gadis di depanku. Jarak kami hanya di batasi meja berbentuk persegi panjang. Kulihat tangannya menjalin sedari tadi. Dia juga pasti sama gugupnya denganku. Ada gelenyar di dada ini, terasa hangat. Semoga ini menjadi awal yang baik.
***
"Sah!"