Panitia tampak sibuk menyiapkan ubo rampe — perlengkapan adat yang akan digunakan untuk upacara inti. Meski sederhana, setiap persiapan dilakukan dengan penuh ketelitian dan rasa hormat pada tradisi leluhur.
Acara diawali dengan sambutan dari ketua RT dan dilanjutkan ucapan dari kepala dusun. Keduanya mengingatkan pentingnya melestarikan warisan budaya agar tidak pudar dimakan zaman.
Setelah itu, tibalah acara inti: pembacaan doa bersama. Doa dipimpin oleh sesepuh desa, berisi permohonan agar warga Ngringo selalu diberi keselamatan, dimudahkan rezekinya, serta desa menjadi “gemah ripah loh jinawi” — makmur, tenteram, dan sejahtera.
Suasana sore itu terasa begitu khidmat. Semua yang hadir menundukkan kepala, tenggelam dalam kekhusyukan doa dan hembusan angin yang lembut.
Usai doa, panitia mulai menyajikan hidangan sederhana dan membagikan nasi berkat (asul-asul) kepada seluruh peserta. Mungkin terlihat sederhana, tapi di balik itu ada makna besar: rasa syukur yang tumbuh dari kebersamaan.
Lebih dari Sekadar Tradisi
Melihat langsung bagaimana warga Ngringo menjalankan Bersih Desa membuat saya sadar bahwa tradisi ini bukan sekadar simbol masa lalu.
Ia adalah cermin kehidupan sosial yang hidup, tempat nilai gotong royong, kesederhanaan, dan spiritualitas menyatu dengan indah.
Di tengah derasnya arus modernisasi, tradisi seperti ini menjadi penyeimbang, pengingat bahwa kemajuan tidak seharusnya menghapus akar budaya, tetapi justru memperkuatnya.
Warisan untuk Masa Depan
Bersih Desa di Karanganyar, tepatnya di Desa Ngringo menjadi bukti bahwa budaya bisa tetap relevan di tengah perubahan zaman.
Ia bukan sekadar ritual tahunan, melainkan penjaga identitas masyarakat — jembatan antara masa lalu dan masa kini.