Selama tiga minggu di Canberra, Australia, saya tinggal bersama Dr Jerry Schwab, seorang peneliti di Centre for Aboriginal Economy Policy Research, Australian National University, Canberra. Usia Jerry sudah 57 tahun. Tapi sebagaimana umumnya warga Australia, berolahraga telah menjadi bagian dari gaya hidup yang menjadikan mereka tetap enerjik dan kelihatan lebih muda. Pada satu akhir pekan cuaca di Canberra tampak cerah. Pagi ini saya dan Jerry akan mendaki puncak Montain Kosciuszko dengan bersepeda. Karena merupakan pengalaman pertama mendaki gunung dengan sepeda tentu saya sangat penasaran.
Mountain Kosciuszko yang berada di Kosciuszko National Park adalah gunung tertinggi di Australia dengan ketinggian 2.228 mdpl. Memang klalau dibandingkan dengan puncak Cartenzs (4.884m dpl) di Papua, gunung Semeru (3.676m dpl) di Jawa, dan gunung Leuser (3.404 mdpl) di Sumatera, ketinggian Montain Kosciuszko bukanlah apa-apa. Nama Kosciuszko diambil dari nama pahlawan perang yang berasal dari Polandia, Tadeusz Kosciuszko. Montain Kosciuszko pada saat musim dingin menjadi tempat favorit warga Australia untuk bermain ski. Berbagai perlombaan tahunan ski digelar disana.
Untuk menuju Kosciuszko National Park diperlukan waktu tiga jam dengan menggunakan mobil dari pusat kota Canberra. Setelah tiba di Kosciuszko National Park, kami menurunkan sepasang sepeda yang digandeng dibelakang mobil. Suhu saat itu sekitar 8° Celcius. Jerry menjelaskan bahwa suhu dan cuaca di Mountain Kosciuszko sulit diprediksi, sehingga kami harus membawa jaket tebal tambahan didalam ransel. Apalagi sebagai orang Indonesia, temperatur 8° Celcius sangatlah dingin bagi saya.
Kami mengawali perjalanan dengan santai. Jerry membuka obrolan tentang banyaknya pendaki yang tewas karena badai salju di Mountain Kosciuszko. Juga tentang pendaki yang terguling jatuh karena menderita serangan jantung dan diabetes. Jerry menanyakan apakah ada keluarga saya yang menderita diabetes? Saya kemudian menjawab singkat bahwa saya sehat, tidak menderita jantung atau diabetes dan sanggup melakukan pendakian ini. Saya kemudian sampaikan padanya mestinya ditanyakan sebelum kita pergi. Jerry pun kemudian meresponnya dengan tertawa.
Pendakian ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Jarak tempuh dari start awal sampai ke puncak Mountain Kosciuszko mencapai 10 km, dengan tanjakan diawal sepanjang 3 km. Ini medan pendakian yang berat sekali, apalagi dengan bersepeda. Menurut Jerry pilihan bersepeda akan memudahkan kita saat perjalanan pulang, karena yang dihadapi hanya turunan. Saya setuju. Tapi tentu harus tetap waspada karena turunan sepanjang 3 km dengan lereng curam butuh konsentrasi dan kehatian-hatian juga.
Karena cuaca yang sangat dingin, di kilometer ke-2 saya merasa sudah kehabisan tenaga. Perseneling sepeda sudah saya geser ke posisi paling ringan untuk pendakian, tapi kaki saya seakan tak bertenaga untuk mengayuh. Kami pun memutuskan untuk beristirahat. Kondisi cuaca dingin menjadi tantangan paling berat dipendakian ini. Saya putuskan untuk mengenakan jaket kedua. Saya pun lupa entah berapa lapis pakaian yang saya kenakan. Tambahan jaket memang membantu, tapi suhu semakin turun ditambah angin yang makin menyulitkan pendakian. Oksigen yang menipis didataran tinggi tentu menjadi tantangan semua pendaki. Begitu juga yang saya alami.
Saya berusaha mengumpulkan semangat dan motivasi. Saya urungkan niat untuk mengatakan, “sorry Jerry, I’m give up”. Saya coba membayangkan bagaimana kalau sampai di puncak nanti, tentu jadi pengalaman luar biasa dan tak terlupakan. Hal-hal baik itulah yang coba saya pikirkan. Tekad kuat telah saya kumpulkan, adrenaline saya bekerja sepertinya. Setelah beristirahat saya putuskan melanjutkan pendakian. Saya merasa lebih sanggup jalan kaki untuk mendaki, akhirnya sepeda saya dorong. Jerry pun melakukan hal yang sama. Terlihat aneh memang tapi itulah yang kami lakukan.
Tak berselang lama, angin tak lagi berhembus. Cuaca menjadi lebih hangat. Saya pernah dengar bahwa kalau suatu usaha kita lakukan dengan sungguh, alam pasti akan membantu. Barangkali ini yang dimaksud. Saya merasa alam bekerja dan membantu saya. Didepan saya melihat salju yang menghalangi jalan kami yang sedari tadi berbatu. Kami mengangkat sepeda melalui jalan bersalju. Disitu kami beristirahat kembali untuk makan. Persis didepan tempat peristirahatan para pendaki yang disebut Seaman’s Hut. Kami sudah mencapai 2030 meter. Tinggal sedikit lagi.
Dilereng menuju puncak Mountain Kosciuszko, ada toilet dan tempat penitipan sepeda. Kami meletakkan sepeda disitu. Perjalanan berikutnya sekalipun masih 2 km lagi tidaklah sulit. Dijalan setapak menuju puncak telah diletakkan batu, kerikil dan plat besi untuk membantu para pendaki. Hal ini untuk mencegah para pendaki tergelincir, karena lereng ini telah banyak makan korban sebelumnya.
Akhirnya sampai juga saya dipuncak Mountain Kosciuszko. Luar biasa bahagia perasaan saya saat itu. Jerry menyambut dengan senyum lebar sambil mengatakan, “we’ll made it!!”. Saya menyambutnya dengan pelukan dan teriakan kencang yang lazim dilakukan pendaki kala mencapai puncak. Jerry mengucapkan selamat dan mengatakan pasti sedikit orang Aceh yang bisa kemari, tapi kamu bisa. Saya membalasnya dengan tertawa lebar.
Dipuncak Mountain Kosciuszko ada banyak pendaki, yang merayakan sukacita yang sama seperti saya. Salah satunya kelompok pendaki dari Malaysia yang mengibarkan bendera Malaysia. Saya menyapa mereka. Salah satunya bernama Thaha yang ternyata pernah melakukan pendakian bersama kelompok pencinta alam IAIN Ar-Raniry di gunung Seulawah dan gunung Burni Telong di Aceh.
Pendakian ke Mountain Kosciuszko adalah pengalaman yang sangat luar biasa. Saya sungguh tidak menyangka bahwa dari program homestay Youth Leadership Camp 2012 saya bisa mencapai puncak Mountain Kosciuszko, yang tertinggi di Australia. Pengalaman ini membuat saya percaya akan kekuatan tekad dan tujuan yang kuat, persis seperti yang digambarkan Pramoedya Ananta Toer, “Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya”.
17 November 2012