Semua berawal dari sebuah candaan di tengah rutinitas yang menjemukan. Di sebuah grup chat kecil, aku dan beberapa sahabat lama tiba-tiba melontarkan ide iseng: "Gimana kalau kita naik gunung lagi?" Kalimat itu awalnya cuma angin lalu, tapi entah bagaimana berubah menjadi kesepakatan nyata. Tanpa banyak pertimbangan, dan dengan semangat ala pendaki musiman, akhirnya kami berangkat.
Kami berlima. Aku, dua sahabat dari masa SMA, satu sahabat dari kecil yang sudah seperti saudara sendiri, dan satu teman kami yang kuliah di UNS yang kemudian jadi titik kumpul awal perjalanan. Karena lokasi kampusnya yang tak jauh dari Gunung Lawu, kami memutuskan untuk menginap semalam di kosannya agar bisa memulai pendakian sepagi mungkin.
Malam itu bukan malam biasa. Kami berkumpul di kamar sempit dengan peralatan seadanya. Logistik kami susun sambil bercanda, tertawa mengingat masa lalu, dan tak lupa sedikit khawatir karena pendakian ini benar-benar mendadak. Tidak ada persiapan matang, hanya niat dan tekad yang menggebu. Tapi justru di situlah serunya.
Pukul tiga pagi, kami terbangun oleh alarm ponsel. Mata masih berat, udara kamar masih dingin, tapi satu demi satu kami bangkit dan mulai bersiap. Suasana hening, hanya terdengar suara ritsleting tas dan bisikan lirih menyusun perlengkapan. Pukul empat, kami melangkah keluar kosan, menembus dingin pagi, menuju basecamp Cemoro Kandang.
Perjalanan dari kos ke basecamp memakan waktu sekitar satu jam. Jalanan masih gelap, lampu-lampu jalan menyala temaram, dan angin pegunungan mulai terasa menyentuh kulit. Kami tiba di basecamp sekitar pukul 05.15 pagi. Langit mulai menunjukkan semburat cahaya, dan udara segar menyambut kami dengan keras. Setelah registrasi, kami melakukan pemanasan sebentar membiarkan tubuh menyesuaikan diri dengan suhu yang berbeda jauh dari dataran rendah.
Pendakian dimulai. Jalur Cemoro Kandang menyambut kami dengan tanjakan khas hutan pegunungan. Nafas mulai tersengal, tapi tawa tetap terdengar di antara langkah kaki. Rasanya seperti kembali ke masa-masa SMA, ketika kami sering bertualang tanpa terlalu banyak pikir. Di jalur ini, semua terasa lebih ringan. Mungkin karena kami berjalan bersama orang-orang yang saling memahami.
Setelah beberapa jam berjalan, kami tiba di Pos 2. Dari titik ini, ada sebuah jalur kecil yang harus diambil ke arah kanan menuju Kawah Candradimuka. Jalurnya menurun tajam, cukup curam, dan harus ekstra hati-hati. Tanahnya agak licin, dan akar-akar pohon jadi satu-satunya pegangan yang bisa diandalkan.
Kami menuruni tebing dengan penuh kehati-hatian. Di bawah sana, suara aliran air sungai mulai terdengar. Lelahnya kaki seolah sirna ketika kami mulai menyusuri aliran sungai itu. Jalurnya tidak terlalu jelas, tapi aliran air menjadi penunjuk arah alami. Suara gemericik air, kabut tipis yang menyelimuti sekitar, dan aroma hutan yang lembap menciptakan atmosfer magis yang tak bisa dijelaskan.
Lalu, tibalah kami di Kawah Candradimuka.
Aku terdiam. Kami semua terdiam. Di depan kami terbentang kawah dengan uap panas yang mengepul perlahan. Batuan-batuan berwarna keabuan dan kuning keemasan menciptakan lanskap yang seolah tidak berasal dari bumi. Pemandangan itu tidak hanya indah namun menakjubkan. Langit yang membiru di atas kawah menambah kesan dramatis. Angin bertiup pelan, membawa aroma belerang yang menyengat tapi tidak menyiksa.
Kami mengambil waktu untuk benar-benar menikmati tempat itu. Duduk di pinggir kawah, berbagi air minum, memotret momen, dan berbincang dengan beberapa pendaki lain yang juga baru tiba. Kami saling bertukar cerita, tawa, dan kekaguman yang sama atas tempat ini. Rasanya seperti berada di dunia lain, sejenak terlepas dari hiruk-pikuk kehidupan yang biasa.
Setelah puas menikmati keindahan Kawah Candradimuka, kami bersiap untuk kembali. Jalur kembali menyusuri sungai, lalu mendaki lagi tebing menuju Pos 2, dan melanjutkan perjalanan pulang menuju basecamp. Tenaga mulai terkuras, tapi hati terasa penuh. Pendakian ini mungkin tidak dirancang sempurna, tapi hasilnya jauh dari kata biasa.
Ketika kami sampai kembali di basecamp, matahari sudah tinggi. Peluh membasahi baju, kaki terasa berat, tapi senyum kami tak pernah lepas. Ada rasa puas yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Kami tidak hanya menaklukkan jalur menuju kawah, tapi juga membuktikan bahwa spontanitas bisa menghasilkan pengalaman yang luar biasa.
Perjalanan ini mengingatkanku bahwa kebersamaan, keberanian untuk mengambil keputusan impulsif, dan cinta terhadap alam bisa menciptakan momen yang abadi. Kawah Candradimuka bukan hanya tempat yang kami datangi tapi menjadi bagian dari cerita kami. Cerita yang akan selalu kami kenang, dan mungkin suatu saat nanti, akan kami ulangi lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI