Mohon tunggu...
Meutia Zahara
Meutia Zahara Mohon Tunggu... Penjahit - Mahasiswa ekonomi yang berjiwa enterpreneur, suka menjahit, dan travelling.

Mahasiswa Ekonomi Universitas Malikussaleh, Aceh

Selanjutnya

Tutup

Money

Ekspor Pertanian, Upaya Menjemput Kedaulatan Pangan

22 Mei 2019   16:38 Diperbarui: 22 Mei 2019   17:31 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: finance.detik.com

"Ini beras Medan. Harganya lebih mahal," kata penjual  kepada seorang pembeli. "Kenapa lebih mahal?" tanya saya yang kebetulan berada di tempat yang sama. "Berasnya lebih legit, lembut, dan wangi," jelas si penjual. "Apa beras kita di Aceh tidak demikian," tanya saya lagi. "Beras kita sedikit keras. Tidak legit dan wangi," ujar penjual tersebut. Saya hanya tercenung. Sebegitu luasnya hamparan sawah di Aceh, tidak adakah yang mempunyai kualitas demikian sehingga harus ada istilah "Ini beras Medan dan harganya lebih mahal"? Pikiran saya berkecamuk. Padahal baru beberapa waktu lalu, sawah di kampung saya musim panen. Dan seorang petaninya mengatakan: "Beras ini mau saya jual dan akan dikirim ke Medan."

Potret yang saya ceritakan di atas boleh saja tidak hanya terjadi di Aceh, tapi juga di wilayah Indonesia lainnya. Sama seperti sebuah tulisan yang menceritakan bagaimana situasi yang dialami oleh orang Papua. Adalah seorang petani yang mempunyai kebun pisang yang luas. Saat sudah bisa dipanen, ia membawa pisang tersebut dan menjualnya ke kota. Karena jarak kota yang jauh dan jarang ada yang melakukan perjalanan ke sana, maka keluarga dan sebagian warga kampung minta dibawa pulang oleh-oleh. Dan mereka minta dibelikan pisang goreng sebagai oleh-oleh dari kota.

Mendengar permintaan tersebut, si petani pun setuju untuk membawa pulang pisang goreng. Namun tak seperti sangkaan petani, ternyata harga pisang goreng itu mahal. Namun karena sudah terikat janji dengan keluarga dan orang kampung, petani tersebut tetap membeli pisang goreng yang mahal itu dengan uang hasil dari penjualan pisang yang dibawanya dari kampung. Petani itu pun pulang dengan hati bahagia karena sudah membelikan oleh-oleh sesuai dengan yang dipinta.

Ada yang keliru

Membaca cerita tersebut, tentu Anda akan berpikir, betapa bodohnya petani tersebut. Kenapa pisang itu tidak digorengnya sendiri? Bukankah ia punya pisang? Untuk apa berlelah-lelah ke kota untuk kemudian membeli dan membawa pulang kembali sesuatu yang ia punya bahan baku sendiri? Bukankah dengan memproduksi pisang goreng sendiri maka itu lebih efektif dan mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan menjual bahan mentahnya saja? Jika pun tidak dijual, selemah-lemah iman bisa menjawab kebutuhan.

Kita boleh saja menganggap  petani itu bodoh, tak pandai menangkap peluang, atau apapun istilahnya. Namun sadar atau tidak, inilah potret yang terjadi di Indonesia. Perjalanan sepotong pisang goreng yang dibawa pulang oleh petani di Papua, sama menyakitkan dengan beras dari hasil panen sawah di depan rumah saya yang dijual ke Medan, lalu dibeli kembali oleh petani setempat di pasar dengan nama: Ini beras Medan dan harganya lebih mahal daripada beras di kampung Anda. Lalu petani tersebut membawa pulang beras itu dengan bangga: Ini beras Medan. Ya. Kita memang kerap merasa bahagia dan bangga membeli barang punya sendiri, tapi dengan harga yang sudah ditentukan orang lain. Dan percayalah, itu menyakitkan.

Membaca potret di atas, kita tentu tidak bisa menyalahkan sepenuhnya petani di Aceh dan Papua tersebut. Melihat potret tersebut, tentu ada yang keliru, baik cara berpikir ataupun lemahnya inovasi pertanian. Belum lagi inovasi yang belum merata hingga seluruh pelosok negeri. Dalam banyak hal, kita kerap menganggap bahwa sesuatu yang diimpor dari wilayah lain, baik dalam ranah internasional ataupun ranah lokal, itu dianggap lebih berkualitas dibandingkan produk sendiri. Rasanya ada prestise tersendiri jika menggunakan produk luar dan mahal, padahal boleh jadi itu dibuatkan dari bahan baku yang kita punya. Namun karena kurang inovasi serta ditambah gengsi yang kian meninggi, maka kita terpaksa membeli barang sendiri dengan klaim hak paten dan harga yang sudah ditetapkan orang lain.

Membenahi dunia pertanian

Melihat persoalan di atas, maka salah satu tantangan dalam dunia pertanian adalah masih rendahnya teknologi di bidang pertanian dan belum merata di seluruh wilayah. Untuk mendapatkan hasil pertanian berkualitas, tentu perlu inovasi dan pengetahuan yang mumpuni. Ini menjadi penting agar kita dapat mengolah sendiri produk pertanian dalam negeri agar dapat memenuhi kualitas tinggi sehingga dapat diekspor ke luar negeri. Karena tentu menyakitkan jika mengalami kejadian seperti "beras Medan" dan "pisang goreng Papua." Kita ekspor beras dengan harga murah, tapi kemudian kita membeli kembali barang yang sama dengan harga yang lebih mahal dan stempel: "Ini produk luar negeri."

Dalam hal ini, salah satu hal yang membuat rendahnya hasil dan kualitas pertanian adalah rendahnya inovasi teknologi dan pengetahuan yang mumpuni di bidang pertanian.Banyak petani yang bertani dengan hanya modal lahan dan bibit tanpa paham betul bagaimana mengolah lahan, proses pemupukan, dan pemilihan bibit yang cocok dengan struktur dan kandungan tanah yang dijadikan lahan bercocok tanam. Hal ini tentu sulit untuk meningkatkan nilai dan hasil produksi pertanian jika petani masih menggunakan cara-cara lampau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun