Mohon tunggu...
Meutia Rahmi
Meutia Rahmi Mohon Tunggu... -

wanita cokelat susu dengan tas besar berisi senja dan mesin jahit, bisa juga ketemu saya di bahasakupu-kupu.blogspot.com :D

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jakarta, Suatu Hari

30 Agustus 2010   04:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:36 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Beberapa jam lalu, langit benar-benar cerah. Menyenggol kesadaran saya dengan biru lembutnya yang seterang kotak susu ultra putih dan nyaris tanpa awan. Saya melenggang ringan di bawahnya sambil sesekali mendongak keatas lalu tersenyum di dalam hati. Gedung tua di sisi kanan saya menggenapi pemandangan indah sore menjelang magrib itu. Sama sekali bukan keindahan yang sederhana.

Tidak lama, saya berdiri di seberang lampu jalan berujung mekar yang dihias beberapa lampu kecil. Seingat saya hanya dua lampu yang menyala. Saya bersandar pada pagar gedung tua itu. Menatap kagum tiang tinggi yang tampak menawan diterangi langit biru. Warna langit belum berubah padahal sudah lewat pukul 18.00. Senja terlambat hadir.

Seperti biasa langit memang penuh misteri. Terangnya bergerak pelan pindah ke tempat lain sampai tidak terasa jedanya. Seakan tiba-tiba saja semuanya berganti warna tanpa membolehkan siapapun menyadari prosesnya. Tidak tahu lagi kemana langit biru memamerkan parasnya. Tidak tahu juga apa lampu langsing tadi masih terlihat menawan setelah tidak lagi dibalut langit biru.

Saya tetap berjalan di bawahnya. Melewati segala hal yang juga bergerak. Bergerak untuk sebuah alasan, tujuan yang hanya diketahui mereka sendiri. Seperti tukang sayur yang melintas di depan saya dengan dagangan masih setumpuk padahal ini tidak lagi sore apalagi pagi.

Melewati jalanan yang kembali ramai karena semua ingin cepat pulang. Melirik tukang mie ayam yang merapat di dinding tinggi sebuah bank, mulai ramai. Menengok sebentar pada seorang pria yang sedang berbincang dengan tukang mie tektek. Saya tidak tahu apa ada yang membicarakan langit sore yang tampak tidak biasa ini.

Tidak tahu, tapi sepertinya mereka menyadari keringat mereka tidak berbalap-balapan muncul sore ini. Mungkin mereka juga merasakan, udara seindah ini terlalu sayang diselipi rasa kesal. Andaikan bisa, saya sempat berharap agar langit tetap biru seperti sore tadi. Walaupun sudah bukan miliknya lagi pagi, siang, atau sore, tapi bisakah dia tetap seperti itu untuk hari ini. Membiarkan kami terkagum-kagum dan terlelap dalam terang. Entah seperti apa gegernya kalau memang bisa begitu. Headline koran pasti bukan lagi soal Malaysia, anggota-anggota DPR yang hobi bolos, atau berita-berita lain yang membuat merah telinga. Tetapi soal keindahan yang menimbulkan rasa aman.

Memang enak berkhayal, mengistirahatkan realita dan menyicip kenyamanan hanya dengan melamun. Saya masih berjalan, adzan magrib sudah bersahutan memanggil malam. Dan langit akhirnya berubah warna.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun