Mohon tunggu...
Metik Marsiya
Metik Marsiya Mohon Tunggu... Konsultan - Menembus Batas Ruang dan Waktu

Praktisi Manajemen, Keuangan, Strategi, Alternatif dan Spiritual. Kutuliskan untuk anak-anakku, sebagai bahan pembelajaran kehidupan. ... Tidak ada yang lebih indah, saat menemani kalian bertumbuh dengan kedewasaan pemahaman kehidupan.... ................ tulisan yang selalu teriring doa untuk kalian berdua....

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Saatnya Warga Negara Malu kepada Negara dan Pajak

2 Mei 2016   09:09 Diperbarui: 2 Mei 2016   14:34 5259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: www.sejarah-negara.com.jpg

Beberapa minggu yang lalu dua petugas pajak telah dibunuh saat sedang melaksanakan tugas melakukan penagihan tunggakan pajak terutang dengan nilai lebih dari 14 milyar rupiah kepada seorang wajib pajak. Tanpa disadari saat ini rakyat dan negara menuntut petugas pajak bekerja lebih keras untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Mereka menganggap hal itu wajar, mengingat tunjangan penghasilan petugas pajak yang diterima sudah besar, sama wajarnya menganggap apabila penghasilan petugas pajak saat ini dipotong 20% dari tunjangan kinerja yang diterimanya karena realisasi penerimaan pajak tidak mencapai target. 

Menuntut dan mengadili, tanpa pernah mencoba menggali lagi masalah dan mencari jalan keluar tebalnya tembok permasalahan di institusi dan birokrasi kelembagaan. Asumsinya sah untuk menekan petugas pajak dengan tekanan target penerimaan ditambah bonus berupa tekanan psikologis, yaitu bully dari masyarakat dan perlawanan dari Wajib Pajak. Kontradiktif, negara dan masyarakat sangat membutuhkan pajak, maka petugas pajak dituntut mencapai target penerimaan. Sedang pajak adalah hal yang selalu dihindari oleh masyarakat, maka ada perlawanan dan penghindaran dari masyarakat, baik secara samar-samar maupun terang-terangan.

Warisan yang paling menyebalkan dari penjajah kolonialisme bukanlah kemiskinan, bukan juga kebodohan. Tetapi warisan watak feodal-lah yang sebenarnya awal mula seluruh permasalahan bangsa ini. Sikap yang paling membuat negara ini menjadi tidak sehat, terpuruk dan berantakan. Ratusan tahun, masyarakat pribumi dihadapkan pada sebuah kekuasaan tirani penjajah, melihat kejamnya kekuasaan, melihat keangkuhan dan kesombongan. Di dalam pikiran seorang penjajah, hanya tahu menerima, tidak ada kamus kata memberi. Mind set yang dimilikinya adalah menerima sebanyak-banyaknya, tanpa memberi apapun, menindas. Benarnya sendiri, menang sendiri dan enaknya sendiri. Pokoknya mau-maunya sendiri. Apa yang pernah dilihat, apa yang pernah dirasakan tanpa disadari telah tertanam dalam bawah sadar sebagian besar masyarakat kita. Turun temurun sampai ke generasi-generasi berikutnya.

Banyak nilai luhur yang diyakini oleh masyarakat kita di antaranya, agar menjadi manusia yang bermanfaat, untuk lebih banyak memberi daripada meminta, prinsip tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. Adil sesuai dengan proporsinya, nilai-nilai Budaya Jawa dan nilai-nilai leluhur penuh dengan kebijaksanaan untuk membentuk manusia yang luhur budinya. Betapa seharusnya manusia selalu membayar atas setiap tetesan keringat yang diperolehnya dari pihak lain. Masih banyak yang harus dilakukan untuk membuat manusia Indonesia mampu menghayati untuk dapat diterapkan bersama-sama di lingkungan masing-masing menjadi sebuah sikap sehari-hari.

Karakter warisan penjajah, feodalisme telah begitu membumi, membudaya, merasuk menjadi virus yang sudah masuk dalam segala lapisan kehidupan kita. Penjajah yang jumlahnya sedikit itu telah hilang dari tanah air kita, tetapi sekarang banyak lahir penjajah-penjajah baru yang lebih banyak jumlahnya, berkulit sawo matang, berambut hitam, menjajah negerinya sendiri, saling menjajah satu dengan yang lain. Kemenangan adalah milik mereka yang besar dan kuat, bukan lagi kepada siapa yang benar. Perang pendapat artinya adalah berani berteriak paling keras, bukan lagi melihat fakta kebenaran dengan berdasar nilai-nilai etika dan agama. Maka jangan bicara nilai atau rasa malu kepada mereka yang telah benar-benar menjadi penjajah di negerinya sendiri. Kata-kata manis di mulut hanyalah hiasan bibir tanpa makna yang lahir dari watak-watak kolonial menjadi warna dalam sikap dan keputusan sehari-hari.

Warga Negara Indonesia dilahirkan di negeri ini, ceprot, langsung bisa menghirup udara segar, dimandikan dengan air, dipangku bumi dan mendapatkan cahaya sinar matahari. Semua itu adalah sebuah nikmat dari Tuhan Yang Maha Esa atas ciptaannya. Maka sudah selayaknya manusia harus mampu berterimakasih dan bersyukur kepada Tuhannya, menyembah dan mengabdi kepada-Nya. Hal ini dimanifestasikan dengan lahirnya agama dan isme-isme yang tumbuh subur di negeri ini, dalam sebuah aktivitas spiritual untuk manusia dan Tuhannya, wujud syukur atas segala anugerah kehidupannya.

Demikian juga sebagai manusia yang lahir di bumi pertiwi Indonesia, tanah merdeka, dan bukan lahir di hutan, manusia Indonesia langsung bisa pergi dan jalan-jalan di tempat publik. Melalui jalan-jalan yang telah ada, baik di aspal maupun bukan, jalan yang dapat dilalui dengan kendaraan pribadi, dengan kereta api, dengan pesawat. Apabila tidak punya punya uang ya dapat naik kendaraan umum. Atau hanya sekadar jalan kaki dari tetangga ke tetangga, saling silaturahmi.

Anak-anak mulai tumbuh, bersekolah, dan akhirnya mereka telah menjadi dewasa. Sebuah perjalanan yang panjang, waktu demi waktu terus berjalan, dan lagi-lagi tanpa disadari manusia Indonesia telah banyak mendapatkan fasilitas dari negara dalam segala rupa dan bentuk. Atas nikmat jalan, nikmat pendidikan, nikmat fasilitas kesehatan, nikmat fasilitas publik. Mungkin memang semua itu belumlah seperti yang diharapkan, jika kita membandingkannya dengan negara-negara maju yang sudah mapan secara manusia dan ekonominya. Ada peran negara dalam proses tumbuh kembang manusia dalam kehidupannya. Setidaknya, kita saat ini tidak sedang perang, karena negara berusaha menjaga keamanannya, kita tidak sedang chaos. Jika anugrah kehidupan dari Tuhan, manusia layak bersyukur dan berterimakasih kepada-Nya, maka apa tidak demikian seharusnya seorang warga negara berterimakasih kepada negaranya, untuk semua hal yang pernah diterimanya dari mulai dia dilahirkan dan di sebuah tempat dia menjalani hidupnya.

Tetapi lagi-lagi, warisan watak feodalisme inilah yang merusak semuanya. Tertutup mata dan hati. Tidak mudahnya memahami dan menerima keadaan yang sudah ada itu dari mana asal dananya, sulitnya berkata terima kasih, atau maaf atas segala hal yang kadang sangat tidak disadari. Yang dapat kita lihat dan rasakan bersama adalah menuntut, meminta, masih dengan kata-kata bahwa negara itu seharusnya bla bla bla. Bukannya melihat ke dalam diri apa yang telah kuberikan kepada negaranya. Mind set manusia dengan warisan feodal menang sendiri, enak sendiri, benar sendiri. Bukan memberi, berbagi, mendukung, atau menguatkan. Berterimakasih dan bersyukur untuk sebuah negara yang alamnya indah dan sudah merdeka.

Wajib pajak kaya saat ini berbahagia karena tidak pernah ada keterbukaan data bank, tidak pernah ada keterbukaan data antar kementerian. Lagi-lagi masalah watak feodal ini muncul sebagai penyebab di kalangan politisi kita, menjadi penyakit di sebagian besar pemimpin-pemimpin kita. Keputusan bukan lagi berpihak kepada rakyat banyak, tetapi berpihak kepada kepentingan, aku dapat apa, kita memanfaatkan siapa. Hmmm.. bukan lagi bicara kemashalatan tetapi bicaranya adalah pemufakatan, tawar menawar, jual beli antar kelompok yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada kita dengar pemimpin satu dan lainnya berlomba-lomba berkorban untuk rakyat dan negeri. Dan sebuah kelompok besar yang disebut rakyat ini hanya menjadi korban yang sudah cukup puas dengan menjadi penonton dan saling berkomentar. Negeri tragis, penuh drama dan komedi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun