Ketika satu pernyataan dari Presiden Amerika Serikat mengguncang pasar global, kita diingatkan bahwa ekonomi bukan sekadar angka. Ia adalah cermin dari arah kebijakan, persepsi risiko, dan daya tahan kolektif.Â
Jumat lalu, Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif 100% terhadap produk asal China, sebuah retorika yang langsung memicu pelarian modal ke aset aman dan menekan mata uang Asia yang sensitif terhadap ketidakpastian.
Rupiah termasuk yang tertekan, bersama yen Jepang dan dong Vietnam. Sementara dolar Taiwan, peso Filipina, dan baht Thailand justru menguat. Asia terbelah. Tapi Indonesia tidak harus ikut tumbang.
Artikel ini bukan sekadar membaca tekanan. Ia mengajak kita melihat peluang di balik guncangan: bahwa ketahanan ekonomi Indonesia bukan hanya soal kebijakan moneter, tapi juga soal arah, keberanian, dan kemampuan membaca masa depan bersama.
Rupiah dan Yen Ambruk Berjamaah
Pernyataan Trump langsung mengguncang pasar keuangan Asia. Reaksi pasar tercermin jelas dalam pergerakan mata uang regional terhadap dolar AS. Namun Asia tidak bereaksi seragam, ada yang menguat, ada yang melemah, dan ada yang tertekan cukup dalam.
Di sisi penguatan, dolar Taiwan memimpin dengan kenaikan +0,20%, diikuti peso Filipina (+0,19%), baht Thailand (+0,15%), yuan China (+0,07%), dan dolar Singapura (+0,04%). Mata uang-mata uang ini tampaknya mampu menjaga stabilitas di tengah ketegangan, menunjukkan bahwa sebagian pasar masih melihat peluang di balik guncangan.
Namun tekanan cukup terasa pada won Korea (+0,02%) yang nyaris stagnan, ringgit Malaysia (-0,04%), dong Vietnam (-0,14%), dan terutama dua mata uang yang paling tertekan: rupiah Indonesia (-0,21%) dan yen Jepang (-0,54%). Kedua mata uang ini menunjukkan sensitivitas tinggi terhadap risiko geopolitik dan pelarian modal ke aset aman.
Asia terbelah. Sebagian bertahan, sebagian terguncang. Tapi bagi Indonesia, tekanan ini bukan sekadar angka. Ia adalah sinyal bahwa ketahanan ekonomi harus terus dijaga, bukan hanya melalui kebijakan moneter, tetapi juga melalui arah kebijakan yang konsisten, komunikasi publik yang jernih, dan kepercayaan yang dibangun bersama.
Benang Merah: Optimisme yang Diuji