Gen Z membaca thread panjang, journaling, zine, bahkan caption reflektif di Instagram. Mereka membaca untuk memahami, bukan menghafal.
Menurut survei UMA Sumatera Utara, gadget menjadi jembatan literasi sekaligus tantangan konsentrasi. Gen Z menyukai teks singkat, visual menarik, dan multitasking. Namun di balik itu, mereka tetap mencari makna.
Fenomena journaling, BookTok, dan tagar #KaburAjaDulu menunjukkan bahwa mereka membaca bukan hanya buku, tapi juga situasi sosial, peluang hidup, dan ketimpangan struktural.
Penulis Lintas Jalur: Menulis Sebagai Tindakan Spiritual dan Sosial
Saya telah menerbitkan melalui tiga jalur:
- Penerbit mayor: untuk menjangkau publik luas dan memberi legitimasi struktural. Â
- Penerbit perguruan tinggi: untuk menyumbang pada diskursus akademik dan refleksi teoritis. Â
- Penerbitan mandiri: untuk menjaga kebebasan kreatif dan respons komunal.
Setiap jalur punya makna. Penerbit mayor memberi jangkauan. Akademik memberi kedalaman. Mandiri memberi kedaulatan. Saya memilih semuanya, karena narasi saya tidak bisa dibatasi oleh satu format atau institusi.
Buku-buku saya bukan sekadar produk, tapi arsip spiritual dan sosial. Mereka lahir dari pengalaman kerja, kegagalan, silaturahmi, dan advokasi komunitas. Mereka adalah cara saya membaca dunia, dan mengajak orang lain ikut membaca.
Literasi Sebagai Jalan Pulang
Literasi bukan hanya soal membaca buku. Ia adalah cara kita membaca diri sendiri, membaca orang lain, membaca sejarah, dan membaca masa depan. Ia adalah tindakan sosial dan spiritual.
Gen Z membaca dengan cara baru. Penulis menjawab dengan strategi baru. Dan buku cetak tetap menjadi ruang refleksi yang tak tergantikan.
Saya percaya, di tengah transisi ini, kita tidak sedang kehilangan pembaca. Kita sedang menemukan cara baru untuk menulis, membaca, dan menyentuh makna.