Di tengah riuh rendah dunia teknologi yang kerap dipenuhi jargon dan valuasi, kisah Jonathan Ross dan Groq menyelinap sebagai narasi yang lebih dalam: tentang keberanian, arah baru, dan pertarungan senyap antara idealisme dan geopolitik.
Babak Awal: Seorang Pegawai yang Memilih Jalan Sunyi
Jonathan Ross bukan nama yang dikenal publik sebelum Groq. Ia adalah mantan pegawai Alphabet, induk usaha Google, yang memilih keluar dari bayang-bayang raksasa teknologi untuk membangun sesuatu yang lebih tajam: chip inferensi AI.Â
Bukan chip untuk melatih model, tetapi untuk menjalankannya secara real-time, efisien, dan hemat energi.
Dalam waktu hanya satu tahun, startup Groq melonjak dari valuasi US$2,8 miliar menjadi US$6,9 miliar (Rp 113 triliun).Â
Pendanaan sebesar US$750 juta baru saja digelontorkan, dipimpin oleh Disruptive dan diikuti oleh nama-nama besar seperti Blackrock, Samsung, dan Cisco.
Namun, angka hanyalah permukaan. Di baliknya, ada pergeseran besar dalam lanskap teknologi global.
Chip Inferensi: Teknologi yang Menjawab Kebutuhan Zaman
Groq tidak bermain di ranah pelatihan AI yang membutuhkan daya komputasi masif. Ia memilih inferensi, yaitu proses menjalankan model yang sudah dilatih.Â
Ini adalah jantung dari chatbot, kendaraan otonom, sistem rekomendasi, dan pengenalan suara.