Sementara kasus rakyat kecil atau yang dianggap berseberangan dengan pemerintah segera diangkat, diadili, bahkan dihakimi secara sosial. Hukum tetap teguh pada paradoks lamanya: tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Dari Buku ke Kebijakan: Paradoks yang Hidup
Buku Paradoks Indonesia dulu menjadi kritik terhadap elite yang hidup mewah di atas penderitaan rakyat. Kini, sang penulis justru tampil sebagai pemimpin yang mempraktikkan paradoks itu secara telanjang.
Dalam pidato kenegaraan 15 Agustus 2025, Presiden Prabowo menekankan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik, tapi tak menyinggung kelangkaan beras, gas, dan keresahan rakyat. Seolah dapur rakyat bukan bagian dari pembangunan bangsa.
ICW memperingatkan adanya "kartel politik dan disorientasi hukum" yang kian mengancam pemberantasan korupsi. Bahkan wacana pengampunan koruptor yang mengembalikan uang negara sempat mengemuka, sebuah sinyal berbahaya bahwa korupsi bukan lagi musuh, melainkan bagian dari kompromi kekuasaan.
Solusi Nyata: Bukan Retorika, Tapi Aksi
Paradoks Indonesia tidak akan selesai hanya dengan wacana atau janji. Yang dibutuhkan sekarang adalah langkah nyata yang bisa dirasakan rakyat di pasar, di dapur rumah tangga, di dompet pekerja, dan dalam rasa keadilan hukum. Aksi itu harus konkret, terukur, dan berpihak kepada masyarakat luas, bukan sekadar pencitraan di panggung politik.
Beberapa langkah yang bisa ditempuh:
- Transparansi distribusi pangan: buka data stok ke publik, sediakan akses real-time untuk cek pasar terdekat.
- Perlindungan pekerja: stimulus UMKM, pelatihan kerja nyata, subsidi upah bagi pekerja bergaji di bawah threshold.
- Kebijakan fiskal pro-rakyat: perbaikan bansos, perhatian ke daerah tertinggal, mekanisme bantuan kilat ketika pasar kosong.
- Review fasilitas elit: sejajarkan hak istimewa pejabat dengan kondisi ekonomi rakyat.
- Penegakan hukum yang adil: cepat, konsisten, tanpa pilih kasih.
- Dialog masyarakat sipil: libatkan publik untuk mengawasi dan menerjemahkan aspirasi ke kebijakan nyata.
Penutup
Paradoks Indonesia hari ini bukan sekadar ironi dalam retorika, tetapi nyata terasa di dapur rakyat, di pasar tradisional, di meja makan, dan di rekening tabungan yang makin tipis.Â
Ketika rakyat harus antre gas melon, kehilangan minyak goreng, bingung mencari beras, bahkan cemas tabungannya terblokir, para pejabat justru menikmati privilege yang dibungkus legitimasi politik. Di sinilah luka kolektif bangsa semakin dalam.Paradoks Indonesia hari ini bukan sekadar ironi dalam retorika, tetapi nyata terasa di dapur rakyat, di pasar tradisional, di meja makan, dan di rekening tabungan yang makin tipis.Â
Ketika rakyat harus antre gas melon, kehilangan minyak goreng, bingung mencari beras, bahkan cemas tabungannya terblokir, para pejabat justru menikmati privilege yang dibungkus legitimasi politik. Di sinilah luka kolektif bangsa semakin dalam.
Namun sejarah mengajarkan, setiap bangsa besar selalu lahir dari kesadaran rakyatnya sendiri. Kesadaran bahwa diam hanya akan melanggengkan paradoks, sementara keberanian bersuara, mengawasi, dan menuntut keadilan bisa mengubah arah.