Di sebuah panggung megah di Jakarta, 13 Agustus 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani berdiri di depan mikrofon. Acara Sarasehan Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah itu penuh sesak, deretan tokoh ekonomi, ulama, dan pegiat keuangan syariah duduk memperhatikan. Dengan suara tenang namun tegas, beliau berkata:
"Dalam setiap rezeki Anda ada hak orang lain. Caranya, hak orang lain itu diberikan ada yang melalui zakat, ada yang melalui wakaf, ada yang melalui pajak. Dan pajak itu kembali kepada yang membutuhkan."
Seketika, riuh tepuk tangan memenuhi ruangan. Namun, di luar gedung itu, gelombang perdebatan mulai mengalir. Sebagian memuji analogi tersebut, sebagian lagi merasa gerah, bahkan tersinggung.
Mencari Benang Merah
Bagi Sri Mulyani, pesan itu sederhana: pajak, zakat, dan wakaf sama-sama mengandung semangat berbagi. Negara mengelola pajak untuk membiayai pembangunan, sama seperti lembaga amil zakat menyalurkan dana zakat kepada fakir miskin.
Dalam teori fikih ekonomi Islam, konsep ini punya pijakan. Ulama klasik seperti Abu Yusuf dan Ibn Khaldun mengakui adanya pajak (dhara'ib) di luar zakat, asalkan:
- Adil --- tidak membebani secara berlebihan.
- Transparan --- rakyat tahu ke mana dana pergi.
- Proporsional --- sesuai kemampuan wajib pajak.
- Tepat sasaran --- untuk kemaslahatan publik.
Pajak dalam kerangka maqashid al-shariah bahkan bisa menjadi instrumen pemerataan dan perlindungan sosial ketika dana zakat tidak mencukupi.
Kenyataan di Lapangan
Namun, itulah teori. Realitas di Indonesia membuat sebagian orang sulit menelan analogi ini bulat-bulat.
- Kasus korupsi pejabat pajak seperti Rafael Alun Trisambodo dan Gayus Tambunan masih segar di ingatan publik.
- Belanja negara sering dikritik: mulai dari proyek mercusuar, pembangunan fasilitas mewah untuk pejabat, hingga subsidi yang salah sasaran.
- Transparansi penggunaan pajak dinilai minim; publik hanya melihat angka triliunan di APBN, tanpa benar-benar merasakan manfaat langsung.
Dalam kerangka fikih, jika pajak disamakan dengan zakat tetapi dikelola tanpa transparansi dan tidak tepat sasaran, itu bukan hanya masalah retorika --- tetapi bisa jatuh pada ketidakadilan (zulm).