Pendukung pernyataan Sri Mulyani melihatnya sebagai strategi edukasi publik.
"Beliau bicara di forum keuangan syariah, wajar kalau dikaitkan dengan konsep zakat dan wakaf. Tujuannya mengajak kita melihat pajak sebagai kewajiban moral, bukan sekadar paksaan negara," kata seorang akademisi ekonomi syariah.
Data pun mendukung bahwa pajak adalah urat nadi APBN. Tahun 2024, penerimaan pajak mencapai Rp1.900 triliun, setara 75% dari total pendapatan negara. Tanpa pajak, subsidi kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial bisa lumpuh. Dalam kacamata ini, membayar pajak berarti ikut membiayai sekolah, rumah sakit, dan jalan yang digunakan masyarakat luas.
Kubu yang Menolak
Di sisi lain, kritik datang deras.
"Zakat itu perintah Allah, pajak itu aturan pemerintah. Menyamakan keduanya seperti menyamakan shalat dengan apel pagi kantor. Beda wilayah," ujar seorang ulama yang aktif di media sosial.
Bagi kelompok ini, pernyataan Sri Mulyani rawan dianggap mengaburkan perbedaan antara ibadah mahdhah (murni vertikal kepada Allah) dan kewajiban administratif negara.
Lebih jauh, sebagian aktivis menilai ini sebagai pemanfaatan simbol agama untuk menguatkan legitimasi kebijakan fiskal, apalagi di tengah rendahnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Di Persimpangan Persepsi
Apakah pernyataan ini melecehkan agama?
Secara niat, tampaknya tidak. Tapi secara penerimaan publik, ini wilayah rawan.Â
Dalam masyarakat yang sensitif terhadap isu agama, analogi seperti ini bisa ditangkap berbeda: sebagai ajakan bijak oleh sebagian, sebagai provokasi atau manipulasi oleh sebagian lainnya.
Dalam kacamata fikih ekonomi Islam, pajak memang bisa sejajar secara fungsi sosial dengan zakat dan wakaf --- jika dikelola sesuai prinsip keadilan, transparansi, dan maslahat. Masalahnya, di Indonesia, ketiga syarat ini masih sering dipertanyakan.
Catatan Penutup
Seperti air yang mengalir di dua saluran, pernyataan Sri Mulyani ini akan terus membawa dua arus: arus optimisme bahwa pajak adalah instrumen keadilan sosial, dan arus skeptisisme yang melihatnya sebagai retorika yang tidak dibarengi pembuktian nyata.