Ada keberkahan dalam makanan yang dimakan bersama, dalam tawa yang dibagi, dan dalam hati yang saling mengisi.
Saya masih ingat obrolan hangat seputar sekolah, berita yang sedang ramai dibicarakan, sampai gurauan yang membuat kami tertawa lepas. Di meja makan, tak ada gawai, tak ada televisi, hanya kami dan kisah-kisah sederhana yang membuat ikatan keluarga semakin erat.
Namun sayangnya, ketika saya membentuk rumah tangga sendiri, kebiasaan itu tidak lagi saya teruskan. Bukan karena tak ingin, tapi karena ritme hidup yang begitu cepat. Pagi-pagi kami sudah terburu-buru.Â
Anak-anak sarapan seadanya, kadang di mobil, kadang bahkan saya baru makan saat sudah sampai di kantor. Siang hari, kami semua berada di tempat berbeda. Malam pun seringkali saya baru pulang larut karena urusan pekerjaan.Â
Akhir pekan pun belum tentu bisa makan bersama, kadang di luar rumah, dengan suasana yang tak seintim di meja makan rumah sendiri.
Kini, setelah saya pensiun dan anak-anak sudah dewasa, saya mulai merasakan kehampaan kecil yang ternyata datang dari satu hal sederhana---tidak adanya tradisi makan bersama yang saya wariskan.Â
Saya kehilangan momen-momen intim yang dulu begitu berarti. Tidak ada lagi obrolan ringan di sela suapan, tidak ada lagi pelajaran hidup yang disampaikan secara alami di meja makan.
Mungkin inilah warisan yang hilang.
Bukan karena dilupakan, tapi karena terabaikan oleh derasnya arus kesibukan.
Semoga tulisan ini bisa menjadi pengingat bagi keluarga-keluarga muda yang masih punya kesempatan untuk menjaga tradisi sederhana namun penuh makna ini.Â
Karena sejatinya, meja makan bukan hanya tempat makan---ia adalah ruang kecil untuk membangun kebersamaan, memperkuat cinta, dan merajut kenangan.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
Terus Semangat!!!Â