Di tengah gegap gempita dunia kecerdasan buatan (AI) yang kini menyentuh hampir semua aspek kehidupan, termasuk dunia tulis-menulis, saya menemukan diri ini berada di persimpangan yang cukup menarik.Â
Tiba-tiba ada yang bertanya---dengan nada ragu atau sinis, "Apakah ini benar tulisan Anda? Jangan-jangan hanya hasil ChatGPT?"
Pertanyaan yang mungkin sederhana, namun menggugah begitu banyak kenangan, perjalanan panjang, dan keyakinan saya tentang apa makna sebenarnya dari menulis.
Jurnalis Mading Sejak Tahun 1974
Kecintaan saya terhadap dunia menulis bukanlah sesuatu yang lahir belakangan atau karena tren digital. Saya memulainya sejak kecil, saat menjadi "wartawan" majalah dinding di Sekolah Dasar Perguruan Katolik Santa Maria antara tahun 1974 hingga 1977.Â
Saat teman-teman bermain kelereng, saya yang baru kelas 3 SD sibuk mewawancarai guru atau menulis kegiatan sekolah untuk dilaporkan di mading. Lanjut ke bangku SMP (1977--1980), saya tetap aktif sebagai penulis dan redaktur mading sekolah.
Tangan saya terbiasa memegang spidol dan lem kertas, mata saya terbiasa mengamati peristiwa kecil yang layak ditulis.Â
Mading sekolah bukan sekadar papan informasi, tapi ruang ekspresi dan pelatihan literasi sejak dini.
Menembus Koran di Usia Muda
Tahun 1987 adalah tonggak baru. Saya memberanikan diri menulis opini di media massa---koran sungguhan. Menyampaikan gagasan kepada khalayak luas di luar tembok sekolah.Â
Saat itu belum ada internet, belum ada word processor, hanya mesin tik dan kertas karbon. Setiap naskah adalah hasil perenungan panjang dan kerja jari yang telaten.
Setahun kemudian, saya memperkuat pondasi jurnalistik saya dengan mengikuti Pendidikan Jurnalistik yang diadakan oleh Universitas Katolik Parahyangan bekerja sama dengan Majalah Tempo pada 1988.Â
Pelatihan ini semakin mengasah nalar kritis dan kedisiplinan dalam menulis.