Saat Teori Tak Cukup:Â
Selama puluhan tahun saya bekerja di organisasi dan perusahaan publik. Sebuah lingkungan kerja yang terstruktur rapi, dengan aturan yang jelas, peran yang tegas, dan mekanisme penyelesaian konflik yang formal. Saya belajar banyak tentang profesionalisme, kedisiplinan, dan cara menyikapi perbedaan pendapat dalam koridor sistem kerja.
Namun, semua berubah ketika saya mulai terlibat dalam bisnis keluarga dan kerja sama usaha dengan sahabat dekat.Â
Dunia profesional yang awalnya saya kenal terasa begitu berbeda saat hubungan darah dan ikatan emosional masuk ke ruang kerja.
Dua Dunia, Dua Realita
Di dunia kerja formal, kita tahu harus bersikap bagaimana. Saat ada konflik, kita tahu ke mana harus melapor, bagaimana menyelesaikannya. Jika harus berpisah, ya berpisah secara profesional---tanpa perlu membawa luka pribadi.
Namun di dunia bisnis keluarga atau kerja sama dengan sahabat dekat, segala sesuatunya bercampur antara logika dan perasaan. Tidak ada SOP, tidak ada HRD, tidak ada forum netral. Yang ada hanyalah rasa sungkan, prasangka, dan sejarah hubungan yang panjang.
Ketika Masalah Tidak Pernah Benar-Benar Selesai
Saya pernah mengalami konflik dalam bisnis keluarga. Masalah yang seharusnya bisa selesai dalam meja rapat, justru menjalar ke meja makan keluarga. Hubungan saya dengan pihak yang bermasalah memburuk, dan yang lebih menyakitkan---hubungan saya dengan anggota keluarga lain pun ikut terpengaruh. Padahal saya sudah berusaha bersikap profesional dan memisahkan urusan kerja dengan urusan pribadi.
Hal serupa juga terjadi ketika saya pernah menjalankan bisnis dengan sahabat dekat yang sudah seperti keluarga. Ketika terjadi ketidaksepahaman, hubungan yang tadinya hangat berubah dingin. Komunikasi menjadi canggung. Bahkan setelah kerja sama berakhir, hubungan kami tidak pernah benar-benar pulih seperti semula.
Realita yang Sering Dilupakan Para Teoritis
Saya sering membaca tulisan tentang pentingnya kerja sama, kekompakan keluarga dalam bisnis, atau mitra usaha berbasis kepercayaan. Banyak yang menulis panjang lebar soal strategi, komunikasi efektif, dan pembagian peran. Tapi sayangnya, tidak sedikit dari tulisan-tulisan itu hanya berangkat dari teori---bukan dari pengalaman langsung menghadapi keretakan hubungan personal akibat konflik bisnis.
"Teori memang mudah dirumuskan. Tapi saat emosi dan hubungan hati ikut bermain, semua rumus bisa kehilangan maknanya."
Pelajaran yang Saya Ambil
Dari pengalaman pribadi ini, saya belajar bahwa:
- Kedekatan emosional bukan jaminan keberhasilan bisnis.
- Profesionalisme harus dibangun oleh semua pihak, bukan hanya satu orang.
- Relasi yang sudah terlalu akrab justru sulit membatasi peran.
- Pikirkan baik-baik sebelum mengajak atau diajak bekerja sama oleh keluarga atau sahabat.
Karena ketika konflik terjadi, yang dipertaruhkan bukan hanya bisnis---tapi juga hubungan yang selama ini kita jaga dengan sepenuh hati.