Di suatu pagi yang temaram, seorang pemuda membuka ponselnya dan bertanya pada asisten AI: "Apakah Allah mencintaiku meski aku banyak berdosa?"
Seketika layar menampilkan jawaban yang penuh dalil, bahkan mengutip ayat dan hadits dengan rapi. Namun, hatinya tetap kosong. Ada yang kurang. Bukan karena jawabannya salah, tapi karena jawaban itu tak mengandung pelukan---tak terasa kehangatan ruh yang biasanya ia temukan saat bertatap mata dengan seorang guru, seorang ulama.
Di sinilah pertanyaan besar zaman ini menggema:
Bisakah kecerdasan buatan menggantikan ulama?
AI: Mesin Pintar, Tapi Bukan Pemilik Ruh
Kita hidup di era ketika teknologi berkembang jauh lebih cepat daripada etika dan spiritualitas manusia. AI kini bisa menulis ceramah, menerjemahkan tafsir, bahkan memberikan nasihat dengan bahasa yang seolah menyentuh. Namun, mari kita jujur: AI adalah alat---ia tidak punya qalbu, tidak punya air mata, dan tidak mengalami perjalanan ruhani.
Al-Qur'an mengingatkan:
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui."
(QS. An-Nahl: 43)
Ayat ini menggunakan istilah ahladz dzikr, yakni mereka yang betul-betul memiliki pemahaman, pengalaman, dan kedalaman hati dalam ilmu dan dzikir.
AI mungkin bisa menghafal, tapi ia tidak berdzikir.
AI dan Pemahaman Emosi: Dekat Tapi Tetap Jauh
Memang, saat ini berbagai aplikasi berbasis AI sudah mampu membaca ekspresi wajah, nada suara, dan bahkan memilih kata-kata penuh empati. Misalnya:
- Replika AI: chatbot yang bisa menjadi teman berbicara dan memahami suasana hati penggunanya.
- Woebot: asisten terapi berbasis AI yang memantau kesehatan mental.
- Emotion AI di mobil: mendeteksi stres pengemudi melalui kamera dan sensor.
Namun, ini semua tetap berbasis data, bukan ruh. Mereka mengenali pola, bukan makna. Mereka memahami respons, bukan penderitaan yang lahir dari iman yang lemah atau hati yang sedang kehilangan arah.