Saya tumbuh di tengah dua sistem adat itu. Dari ibu saya, saya mewarisi suku Bodi-Caniago, yang katanya berasal dari leluhur Negeri Champa.Â
Banyak sejarawan menyebut bahwa Champa, kerajaan kuno di wilayah Vietnam tengah, pernah mengirimkan pelaut, pedagang, bahkan ulama yang kemudian menetap dan menjadi bagian dari etnis Minang. Mereka diterima, berbaur, dan melebur dalam suku Bodi dan Caniago yang memang mengedepankan musyawarah dan keterbukaan.
Dari ayah saya, saya mendengar tentang tambo keturunan yang terhubung dengan Pagaruyung, pusat kekuasaan dan kebesaran Minangkabau di masa lalu. Garis ini termasuk dalam suku Koto-Piliang, yang lebih tertib, berlapis, dan aristokratis, warisan sistem kerajaan Minangkabau yang sangat terstruktur.
Caniago dan Chaniago: Sama atau Beda?
Pernah saya bertanya-tanya, apakah Caniago dan Chaniago itu sama? Ternyata, Chaniago adalah salah satu cabang (anak suku) dari suku besar Caniago. Ejaan berbeda bisa disebabkan oleh pengaruh fonetik lokal dan penulisan kolonial. Dalam adat Minangkabau, suku besar bisa terbagi lagi menjadi cabang-cabang atau anak suku, seperti:
- Caniago Lareh Nan Panjang
- Caniago Nan Baranam
- Caniago Jambak
- Chaniago Bawah Duku, dan lain-lain.
Jadi, Chaniago bukan suku lain, tapi bagian dari payung besar Caniago, yang memiliki falsafah egaliter dan demokratis.
Refleksi Pribadi: Menjaga Tambo, Merawat Identitas
Kini, sebagai bagian dari generasi yang hidup di era digital dan mobilitas tinggi, saya semakin merasa pentingnya menjaga tambo dan cerita keluarga.Â
Ini bukan sekadar soal asal-usul, tapi soal jati diri, akar budaya, dan landasan nilai-nilai yang membentuk siapa kita hari ini.
Saya ingin anak cucu saya tahu bahwa mereka berasal dari:
- Suku yang menjunjung musyawarah dan kesetaraan (Bodi-Caniago),
- Dan dari garis kepemimpinan adat yang bijaksana (Koto-Piliang),
- Serta memiliki darah pelaut dan perantau dari Negeri Champa,
- Dan kehormatan yang terhubung dengan adat besar Pagaruyung.
Penutup: Merangkai Masa Lalu untuk Masa Depan