Pagi ini saya membuka Kompasiana seperti biasa. Sekilas menengok daftar Artikel Utama di halaman depan. Sungguh terkejut sekaligus prihatin. Dari lima artikel yang tampil di posisi utama, semua hanya memiliki jumlah pembaca sangat minim---bahkan sebagian masih di angka puluhan.Â
Padahal slot tersebut seharusnya menjadi etalase utama yang ramai pengunjung dan menjadi pemantik traffic bagi seluruh Kompasianer.
Ini bukan hal baru. Sudah beberapa waktu saya mencermati betapa sepinya Kompasiana dari kunjungan pembaca. Bukan karena tak ada penulis yang bagus atau tulisan yang menarik, melainkan karena sistem pengelolaan yang belum optimal.Â
Dengan lebih dari lima juta akun terdaftar, seharusnya Kompasiana bisa lebih hidup, dinamis, dan menjadi kanal opini publik yang disegani.Â
Tapi kenyataannya, sebagian besar akun hanya menjadi data tidur---pengguna yang entah lupa password atau kehilangan motivasi menulis karena tidak lagi menemukan gairah dan apresiasi di platform ini.
Salah satu penyebabnya, menurut saya, adalah tata kelola internal yang masih terlalu bersifat "keluarga kecil". Beberapa artikel yang tampil sebagai headline atau artikel utama sering kali datang dari nama-nama yang "itu-itu saja", seolah admin lebih nyaman memilih Kompasianer yang dekat di hati daripada melihat kualitas dan dampak sebuah tulisan secara objektif.Â
Akibatnya, tulisan-tulisan bagus dari penulis baru atau dari penulis berpengaruh sekalipun bisa saja terabaikan hanya karena tidak punya kedekatan dengan pengelola.
Lihat saja tangkapan layar ini: artikel yang sudah dipilih menjadi Headline pun hanya meraih puluhan pembaca.Â
Di era digital seperti sekarang, angka ini sungguh memprihatinkan.Â
Ini bukan kesalahan para penulis---karena banyak di antaranya sudah berusaha keras menyajikan tulisan berkualitas---tetapi lebih pada kegagalan sistem distribusi dan engagement di dalam platform.
Potensi Besar, Namun Terlihat Mandek
Dengan lebih dari 5 juta akun terdaftar, Kompasiana seharusnya bisa menjadi tambang emas dalam ekosistem media digital. Sayangnya, hanya sebagian kecil dari akun tersebut yang aktif menulis maupun membaca.Â
Hal ini tentu menghambat pertumbuhan komunitas serta pencapaian traffic yang tinggi secara berkelanjutan.
Saat ini, artikel-artikel utama yang tampil di halaman depan pun tak jarang hanya dibaca puluhan kali. Padahal di sisi lain, banyak Kompasianer potensial yang memiliki ribuan pengikut dan artikel viral, justru kurang mendapat eksposur.
Yang lebih mengejutkan lagi adalah kualitas iklan yang tayang di Kompasiana. Untuk platform yang berada di bawah bendera Kompas Gramedia---salah satu konglomerasi media paling kredibel di Indonesia---iklan yang muncul justru sangat tidak representatif.Â
Bahkan saya berani menyebutnya sebagai "iklan peter-peteran", karena kerap muncul iklan obat kuat, layanan mistik, hingga konten iklan yang sangat tidak layak.
Saya sendiri pernah mengalami pengalaman yang cukup memalukan: saat membagikan link artikel Kompasiana saya di beberapa grup Facebook yang tergolong elit dan profesional, link tersebut langsung ditolak atau bahkan dihapus oleh admin grup.Â
Setelah saya telusuri, rupanya saat link dibuka, yang pertama kali muncul justru iklan-iklan yang mengganggu, tidak pantas, dan menjatuhkan citra artikel saya. Beberapa kolega bahkan menghubungi saya secara pribadi menanyakan, "Kok artikelnya bawa-bawa iklan begituan, Mas?"
Bayangkan, betapa frustrasinya seorang penulis yang sudah bersusah payah menulis dengan niat berbagi pengetahuan atau opini konstruktif, harus menerima penolakan hanya karena platform tempat artikelnya tayang tidak mampu menyaring iklan dengan layak. Ini bukan hanya merusak reputasi pribadi, tetapi juga melemahkan posisi Kompasiana di mata publik yang lebih luas.
Lebih dari itu, iklan-iklan murahan ini tentu berdampak besar terhadap citra Kompas Gramedia secara keseluruhan.Â
Kompas selama ini dikenal sebagai media berkualitas, konservatif dalam norma, dan sangat berhati-hati dalam menjaga etika. Tapi semua itu bisa runtuh hanya karena satu entitas digital di bawahnya membiarkan iklan-iklan tidak berkelas tampil di laman utamanya.
Peluang Perubahan dan Perbaikan
Kompasiana seharusnya bisa dikembangkan sebagai platform premium untuk konten warga, dengan pengelolaan algoritma berbasis kualitas, engagement, dan keterlibatan komunitas.Â
Kualitas iklan yang tayang perlu dikurasi secara ketat, bukan hanya agar tidak merusak citra penulis dan pembaca, tetapi juga untuk meningkatkan nilai tawar platform di mata pengiklan kelas atas.
Jika dikelola dengan profesional dan modern, Kompasiana bukan hanya menjadi rumah nyaman bagi penulis, tetapi juga ladang penghasilan yang sehat dan berkelanjutan, baik bagi komunitas maupun manajemen.
Saya tidak mengatakan bahwa semua hal di Kompasiana buruk. Banyak juga fitur yang membantu penulis berkembang, komunitas yang mendukung, dan interaksi yang positif. Tapi potensi besar ini sayangnya seperti terabaikan.Â
Alih-alih menjadi media digital rakyat yang digdaya, Kompasiana saat ini justru seperti rumah besar yang kosong, dengan tamu-tamu tak diundang berkeliaran di berandanya---iklan-iklan murahan yang merusak kesan pertama.
Ajakan untuk Manajemen Kompas Gramedia
Sudah waktunya manajemen Kompas Gramedia memandang Kompasiana bukan sekadar pelengkap atau proyek idealisme, tetapi sebagai aset strategis dalam lanskap digital media.Â
Perbaikan sistem kurasi konten, penyaringan iklan, serta pendekatan komunitas yang lebih terbuka akan membuka peluang baru bagi pertumbuhan berkelanjutan.
Sebagai Kompasianer yang telah berkontribusi selama bertahun-tahun, saya berharap ada langkah nyata untuk menjadikan Kompasiana bukan hanya "Beyond Blogging", tetapi juga "Beyond Expectation".
Penulis: Merza Gamal
(Kompasianer Sejak Awal Kompasiana Menjadi Media Citizen)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI