Hari ini, 1 Juni, bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Lahir Pancasila. Sejak ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh Presiden RI pada tahun 2016, tanggal ini diberi ruang khusus dalam kalender merah kita.Â
Padahal, sepuluh tahun lalu, 1 Juni hanya lewat begitu saja, tanpa seremoni berarti, meski maknanya sangat dalam---sebagai hari ketika Bung Karno pada 1945 menyampaikan pidato monumental yang melahirkan dasar negara Indonesia.
Kini, setiap tahun, berbagai instansi berlomba-lomba memasang baliho bertuliskan "Saya Indonesia, Saya Pancasila". Media sosial dipenuhi unggahan penuh semangat nasionalisme instan.Â
Namun di balik semarak peringatan, kita perlu bertanya: masihkah Pancasila benar-benar hidup dalam perilaku keseharian kita sebagai bangsa?
Dulu: Pancasila Ditanamkan, Bukan Sekadar Diucapkan
Saya termasuk generasi yang tumbuh dengan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah. Kami belajar Pancasila bukan hanya dari teks buku, tapi dari diskusi-diskusi penuh makna yang menanamkan nilai-nilainya ke dalam laku hidup sehari-hari.Â
Sebelum kuliah, kami harus mengikuti Penataran P4 selama 100 jam---suatu proses penghayatan dan pengamalan Pancasila yang cukup intens dan membekas.
Kami bukan sekadar tahu, tapi benar-benar memahami dan menghafal 36 butir-butir pengamalan Pancasila. Nilai-nilai seperti gotong royong, toleransi, keadilan sosial, penghormatan terhadap kemanusiaan, hingga semangat musyawarah untuk mufakat, ditanamkan sebagai fondasi dalam berpikir dan bertindak.Â
Pancasila menjadi nafas kehidupan berbangsa, bukan sekadar hiasan dalam pidato atau dinding ruang rapat.
Sekarang: Pancasila dalam Slogan, Tapi Tidak dalam Sikap
Dalam satu dekade terakhir, euforia simbolik tentang Pancasila memang menggema. Tetapi, ironisnya, di tengah gegap gempita itu, justru kita menyaksikan degradasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sosial dan politik.
Sila ketiga tentang Persatuan Indonesia tergerus oleh polarisasi yang tajam. Perbedaan suku, agama, dan pilihan politik lebih sering menjadi sumber pertengkaran daripada kekayaan yang dirayakan. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, nyaris tak tampak dalam ruang publik yang kini dipenuhi oleh egoisme kelompok dan saling sikut demi kekuasaan.