Pagi itu, Haruka---seorang mahasiswa Jepang---berjalan cepat ke sebuah toko khusus merchandise di Akihabara, Tokyo. Ia mengenakan tas ransel bergambar karakter anime favoritnya dan membawa album foto kecil yang penuh dengan potret sang idola.Â
Bukan hanya untuk dikoleksi, tapi untuk dibawa ke kafe bertema di mana ia bisa "bertemu" idola dalam bentuk AR. Aktivitas ini disebut oshikatsu---kegiatan mendukung idola secara aktif dan emosional.
Di balik gemerlap poster, lightstick, dan merchandise eksklusif, oshikatsu bukan sekadar tren, tapi telah menjadi budaya sosial dan ekonomi yang nyata.Â
Fenomena ini bahkan melampaui batas Jepang dan merebak secara global, dengan istilah dan warna budaya yang berbeda-beda.
Asal-Usul Kata dan Munculnya Budaya Oshikatsu
Kata "oshikatsu" berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Jepang:
- Oshi (): idola atau tokoh favorit yang didukung
- Katsu (): aktivitas atau aksi
Istilah ini pertama kali mencuat di media sosial Jepang sekitar tahun 2016, dan semakin populer dengan tagar # (oshikatsu) di platform Twitter (kini X) pada tahun 2018.Â
Kata ini mendapat pengakuan luas ketika dinominasikan sebagai Kata Tahun Ini di Jepang pada 2021, menandakan bahwa oshikatsu telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat urban Jepang.
Namun, mendukung idola tentu bukan hal baru di Jepang. Budaya ini berakar dari idol culture sejak era 1970-an dan terus berkembang lewat J-pop, grup idol seperti AKB48, dan industri anime. Yang berubah adalah cara mendukungnya: makin personal, makin digital, dan makin terstruktur.
Dari Dukungan Emosional hingga Transaksi Ekonomi
Bagi pelaku oshikatsu, mendukung idola adalah sumber kebahagiaan dan identitas diri. Mulai dari membeli merchandise, datang ke konser, membuat fan art, hingga berinteraksi di media sosial, semua dilakukan dengan semangat tinggi.Â
Beberapa bahkan mengalokasikan anggaran bulanan khusus untuk aktivitas ini.
Dalam skala ekonomi, oshikatsu menciptakan pasar yang sangat menguntungkan:
- Industri idol Jepang mencatat omzet triliunan yen setiap tahun.
- Penjualan merchandise resmi dan tidak resmi tumbuh pesat di toko fisik dan marketplace digital.
- Kafe bertema, event ulang tahun idola, bahkan tempat ziarah "lokasi syuting" anime atau MV menjadi destinasi wisata.
Bahkan, beberapa kota kecil di Jepang mengalami revitalisasi ekonomi berkat fans yang berziarah ke lokasi yang diasosiasikan dengan idola atau karakter anime tertentu.
Tren Global: Oshikatsu dalam Versi yang Berbeda
Fenomena dukungan terhadap idola bukan monopoli Jepang. Budaya serupa berkembang di banyak negara, dengan karakteristik unik:
1. Korea Selatan: Fandom Power
Budaya fandom K-pop menjadi kekuatan global. Fandom seperti ARMY (BTS), EXO-L, atau ONCE (TWICE) mengorganisir voting, kampanye donasi, bahkan kegiatan sosial atas nama idola. Di Seoul, distrik Gangnam dan Hongdae menjadi pusat aktivitas fanbase, lengkap dengan kafe bertema dan iklan ulang tahun di stasiun bawah tanah. Ekonomi K-pop menyumbang miliaran dolar ke GDP Korea.
2. Tiongkok: "Zhuxng" ()
Di Tiongkok, istilah zhuxng berarti "mengejar bintang". Fans rela mengumpulkan dana besar-besaran untuk membeli iklan di bandara, billboard, atau TV demi mendukung idola mereka. Namun, pemerintah Tiongkok sempat membatasi kegiatan ini karena dianggap menciptakan persaingan berlebihan dan manipulasi digital.
3. Amerika Serikat dan Eropa: Stanning Culture
Fenomena stanning (berasal dari lagu "Stan" oleh Eminem) menggambarkan penggemar yang sangat setia dan militan terhadap artis atau karakter. Fanbase Taylor Swift (Swifties), Beyonc (BeyHive), dan bahkan tokoh fiksi seperti Marvel atau Harry Potter memiliki komunitas global yang aktif menciptakan konten dan berinteraksi secara digital.
4. Indonesia: Komunitas Fanboy, Fangirl, dan Demam Thai-Idol
Di Indonesia, penggemar K-pop, J-pop, dan selebriti lokal membentuk komunitas penggemar yang solid. Event nonton bareng, konser, proyek donasi ulang tahun, bahkan pameran fan art telah menjadi bagian dari gaya hidup anak muda urban. Media sosial seperti Instagram dan TikTok menjadi panggung utama untuk menunjukkan dukungan kepada "bias".
Namun, beberapa tahun terakhir, Indonesia juga mengalami lonjakan popularitas terhadap artis Thailand---khususnya dari genre drama dan musik pop. Meledaknya drama seperti 2gether: The Series, KinnPorsche, dan Not Me membawa nama-nama seperti Bright Vachirawit, Win Metawin, Nanon Korapat, Mile Phakphum, dan Apo Nattawin ke hati para penggemar Indonesia.
Komunitas penggemar Thai-idol di Indonesia melakukan berbagai aktivitas khas oshikatsu:
- Mengadakan event ulang tahun, nonton bareng, dan fan project.
- Membeli dan menyebarkan merchandise eksklusif.
- Menerjemahkan konten Thai ke dalam Bahasa Indonesia untuk komunitas luas.
- Aktif membuat fan art, video edits, hingga dukungan untuk voting internasional.
Fenomena ini menunjukkan bahwa Indonesia telah menjadi bagian penting dari pasar ASEAN fandom, di mana batas bahasa bukan lagi penghalang untuk mencintai dan mendukung idola dari negeri tetangga.
Fenomena Emosional dan Psikososial
Secara psikologis, aktivitas seperti oshikatsu bisa menjadi bentuk coping mechanism dari tekanan hidup sehari-hari. Fans menemukan semangat, inspirasi, dan bahkan perasaan diterima lewat komunitas penggemar.Â
Dalam beberapa studi, keterlibatan dalam fandom terbukti bisa meningkatkan kesehatan mental selama dilakukan dengan proporsional.
Namun, ada sisi gelap yang perlu diwaspadai: fanatisme berlebihan, utang demi membeli merchandise, atau konflik antarfans (fan wars). Oleh karena itu, edukasi tentang batas sehat dalam mendukung idola menjadi penting.
Refleksi dan Analisis: Lebih dari Sekadar Mengidolakan
Fenomena oshikatsu dan budaya serupa di seluruh dunia menunjukkan bahwa:
- Idola bukan hanya artis, tapi simbol harapan, identitas, dan pelarian dari realitas.
- Media digital memperkuat kedekatan emosional antara fans dan idola.
- Ekonomi kreatif tumbuh pesat di sekitar budaya penggemar.
Di era ekonomi digital, mendukung idola telah berubah menjadi aktivitas sosial-ekonomi terstruktur yang mempengaruhi pola konsumsi, pariwisata, hingga produksi budaya populer global.
Penutup: Antara Bahagia dan Bijak dalam Mendukung Idola
Oshikatsu telah menjadi cermin dari dunia modern: di mana batas antara realitas dan virtual kian tipis, dan emosi bisa ditransaksikan melalui merchandise, likes, dan konser daring.
Selama dilakukan dengan kesadaran, aktivitas ini bisa memperkaya hidup, memperluas pertemanan, dan bahkan mendukung industri kreatif nasional. Namun, tetap penting untuk menjaga keseimbangan antara cinta pada idola dan cinta pada diri sendiri.
Karena sejatinya, seperti kata pepatah Jepang, "Dukunglah idolamu selagi bisa. Tapi jangan lupa, kamu juga pantas didukung oleh dirimu sendiri."
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara, Â Kompasianer sejak 2008)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI