Ketika Kaleng Susu Itu Tak Lagi Manis
Di negeri asalnya, Jepang, Lawson berdiri tegak sebagai raksasa minimarket---ikon keseharian masyarakat urban. Dengan logo kaleng susu yang khas, Lawson tak hanya menjual kebutuhan harian, tapi juga menyimpan sejarah panjang yang manis: toko pertama yang didirikan oleh James "J.J." Lawson di Ohio, Amerika Serikat pada 1939, berawal dari penjualan susu segar. Kini, ia menjadi jaringan minimarket terbesar kedua di Jepang setelah 7-Eleven, dengan lebih dari 11 ribu gerai tersebar di seluruh negeri.
Namun, tak semua cerita manis bisa bertahan saat dibawa melintasi samudra. Di Indonesia, tahun 2024 menjadi tahun penuh luka bagi Lawson.
Senjakala Gerai Biru-Putih di Tanah Air
PT Midi Utama Indonesia Tbk (MIDI), anak usaha Grup Alfamart, adalah operator Lawson di Indonesia. Pada 2023, Lawson sempat memiliki 674 gerai---angka yang cukup menjanjikan di tengah persaingan ketat pasar ritel Tanah Air.Â
Namun, dalam waktu hanya satu tahun, angka itu anjlok drastis. Tepatnya 300 gerai ditutup, menyisakan hanya 374 yang bertahan di tahun 2024.
Penutupan itu setara dengan pengurangan 45 persen gerai, bukan angka kecil bagi sebuah merek yang sudah menancapkan identitasnya selama lebih dari satu dekade di Indonesia.
Apa yang salah?
Antara Ekspektasi dan Realita
Dalam laporan keuangan yang dirilis MIDI, tercatat bahwa kinerja Lawson berada jauh di bawah ekspektasi. Kerugian operasional mencapai Rp236 miliar pada 2024, bahkan melebihi proyeksi awal. Sementara pertumbuhan penjualan toko sejenis (SSSG) mencatatkan angka negatif selama tujuh kuartal berturut-turut sejak 2023.
Dari sisi kontribusi, Lawson hanya menyumbang sekitar 6,8 persen dari total pendapatan MIDI, kalah jauh dibandingkan Alfamidi yang menyumbang lebih dari 88 persen.Â
Di tengah tekanan ekonomi, pergeseran perilaku belanja, dan persaingan superketat, keberadaan Lawson jadi beban yang tak lagi bisa ditopang dengan mudah.
MIDI pun mengambil keputusan besar: berhenti menjadi pengelola Lawson di Indonesia.