Sebagai penulis dan pengamat independen, saya merasa perlu untuk tidak sekadar mengutip angka---tetapi memahami konteks di balik proyeksi tersebut. Mari kita telaah:
Memang benar bahwa rupiah tertinggal dari rekan-rekan Asia-nya tahun ini. Ketika baht dan peso mulai menguat setelah gelombang awal kenaikan suku bunga AS, rupiah justru tergelincir lebih jauh. Ini bisa menjadi sinyal bahwa ada potensi koreksi positif---"what goes down must go up", setidaknya menurut para trader global.
2. Faktor The Fed dan Arus Modal Asing
Jika Federal Reserve mulai menurunkan suku bunganya---seperti yang diperkirakan oleh sebagian besar pelaku pasar menjelang akhir 2025---maka tekanan pada mata uang negara berkembang bisa mereda. Ini bisa membuka kran arus masuk modal asing (portfolio inflows) ke pasar obligasi dan saham Indonesia.
Namun, faktor ini bersifat eksternal dan tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh pemerintah Indonesia. Kita tetap bergantung pada sentimen global.
3. Fundamental Domestik: Kunci Kekuatan Nyata
Penguatan rupiah bukan hanya soal dolar yang melemah. Ini juga soal kredibilitas fiskal pemerintah, stabilitas moneter Bank Indonesia, dan yang tak kalah penting: stabilitas politik pasca pemilu.
Dengan transisi kepemimpinan yang relatif mulus, dan fokus pada pembangunan ekonomi digital serta hilirisasi industri, Indonesia punya narasi positif di mata investor.Â
Tapi narasi saja tidak cukup---yang dibutuhkan adalah konsistensi dan eksekusi.
Rp15.200: Harapan Tinggi, Realita Menanti
Melihat angka Rp15.200 yang dipatok oleh ING, saya pribadi menganggap ini sebagai skenario optimis (best-case scenario). Artinya, ini bisa terjadi jika:
- The Fed menurunkan suku bunga lebih dari sekali,
- Harga komoditas ekspor Indonesia stabil atau naik (batubara, CPO, nikel),
- Tidak ada gejolak politik atau ekonomi yang mengejutkan.