Mengemban panggilan suci untuk menunaikan ibadah haji adalah impian setiap Muslim. Bagi saya, kesempatan itu datang pertama kali pada musim haji tahun 1994, tiga puluh satu tahun yang lalu.
Di usia yang masih muda, dengan semangat membara dan tekad yang kuat, saya berangkat dengan fasilitas haji reguler yang menyediakan durasi perjalanan lebih dari 40 hari. Meski fasilitasnya sederhana, waktu yang panjang memberi peluang berharga untuk mendalami setiap sisi ibadah.
Menabung Emas Sejak Dini: Kunci Menuju Baitullah
Pada tahun 1994, Ongkos Naik Haji (ONH) sekitar Rp 7 juta. Saya menambahkan Rp 1 juta untuk mendaftar melalui Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) demi mendapat layanan lebih baik di Mina. Total biaya menjadi Rp 8 juta. Saat itu, harga emas sekitar Rp 27.850 per gram, sehingga biaya haji setara dengan 287 gram emas.
Sejak kecil di awal tahun 70-an, saya terbiasa menabung dan membeli emas setiap kali celengan cukup untuk satu gram. Kebiasaan ini terus saya pelihara, hingga pada awal 1990-an, kepemilikan saya telah mencapai sekitar 300 gram emas. Maka, tanpa harus menjual semuanya, saya dapat menunaikan haji dengan aman. Strategi sederhana ini terbukti efektif sebagai investasi spiritual yang nilainya tak tergantikan.
Sunnah Arbain dan Keheningan Batin di Masjid Nabawi
Salah satu pengalaman paling membekas selama ibadah haji pertama saya adalah ketika menjalankan Sunnah Arbain di Madinah. Ibadah ini menuntut salat wajib berjamaah selama 40 waktu (delapan hari) berturut-turut di Masjid Nabawi.Â
Bukan perkara mudah. Setiap waktu salat harus dijalani tanpa terlewat satu pun. Kedisiplinan dan keteguhan hati diuji setiap saat.
Namun, ada sesuatu yang luar biasa dalam setiap langkah menuju masjid, dalam setiap rukuk dan sujud bersama ribuan jemaah dari berbagai penjuru dunia. Kebersamaan dan semangat ibadah di Masjid Nabawi memberikan kekuatan tersendiri.Â
Di tengah keramaian jemaah, saya justru merasakan keheningan batin yang membuat setiap doa terasa lebih dekat kepada Allah SWT. Panggilan azan bagaikan seruan dari langit, membangkitkan rindu akan kedamaian dan keikhlasan.
Pengalaman ini memberikan dimensi spiritual yang dalam dan memperkuat hubungan batin dengan Sang Khalik. Di situlah saya menyadari betapa pentingnya tidak hanya berhaji secara fisik, tapi juga menghadirkan jiwa yang tenang dan hati yang berserah.
Haji Kedua: Pengalaman Singkat Namun Bermakna